Namun, sebagian besar antropolog meyakini bahwa antropologi muncul sebagai satu cabang keilmuan yang jelas batasannya dengan ilmu-ilmu lain sejak abad ke-19.
Kemunculan ilmu antropologi bersamaan dengan lahirnya teori Darwin tentang evolusi manusia.
Pada abad selanjutnya, antropologi mengalami perkembangan pesat manakala antropologi telah diakui sebagai disiplin pengetahuan akademik.
Hal itu terjadi ketika antropolog diakui sebagai profesi yang ditandai dengan pengangkatan sarjana antropologi bekerja pada universitas, museum, dan kantor-kantor pemerintahan (Saifuddin, 2005).
Koentjaraningrat berpendapat bahwa “sejarah gagasan” antropologi bahkan dimulai dari tulisan-tulisan filsuf, pensyarah Yunani, sejarah Arab kuno, sejarah Eropa kuno, maupun masa abad pencerahan atau renaisans yang dianggap pendorong dibangunnya tradisi antropologi.
Setelah memasuki fase keempat, antropologi berkembang sangat pesat.
Pada fase ini, antropologi sebagai disiplin ilmu sudah berkembang tidak hanya mempelajari di luar bangsa-bangsa Eropa.
Setelah Perang Dunia II, seiring dengan gelombang emansipasi dan gerakan pembebasan terutama di negara-negara Asia dan Afrika, mendorong antropologi mempelajari fenomena pascakolonial.
Hal itu memunculkan kesadaran baru di kalangan antropolog tentang pentingnya meletakkan spirit emansipasi atau kesetaraan di antara bangsa-bangsa di dunia sebagai nilai utama ilmu antropologi.
Dampak paling nyata dari gelombang emansipasi tersebut adalah tidak digunakannya istilah “primitif” yang bermakna terbelakang untuk menjelaskan berbagai suku bangsa di luar bangsa Eropa.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR