Kebijakan Kolonial Portugis yang Memicu Perlawanan Lokal adalah 2 Hal Ini

Ade S

Penulis

Kepulauan Maluku yang dijuluki sebagai The Spicy Island pada 1810. Temukan dua kebijakan kolonial Portugis yang memicu perlawanan lokal di Nusantara, mengungkap monopoli perdagangan dan campur tangan politik.
Kepulauan Maluku yang dijuluki sebagai The Spicy Island pada 1810. Temukan dua kebijakan kolonial Portugis yang memicu perlawanan lokal di Nusantara, mengungkap monopoli perdagangan dan campur tangan politik.

Intisari-Online.com -Dalam sejarah panjang penjajahan di Indonesia, ada cerita yang tak terlupakan tentang perlawanan terhadap penjajah.

Kisah-kisah heroik ini sering kali dipicu oleh tindakan-tindakan yang tidak adil dan sewenang-wenang dari para kolonialis.

Kebijakan kolonial Portugis yang memicu perlawanan lokal adalah 2 hal.

Kedua kebijakan ini tidak hanya mengekang kebebasan, tetapi juga merampas hak-hak asasi rakyat.

Mereka membangkitkan semangat perjuangan yang tak terpadamkan di hati para pahlawan.

Dari Maluku hingga Sunda Kelapa, jejak-jejak perlawanan ini masih terasa hingga kini.

Mari kita selami lebih dalam bagaimana kebijakan-kebijakan ini mempengaruhi dinamika lokal.

Monopoli Perdagangan di Maluku dan Sunda Kelapa

Di Maluku, pada 1512, Antonio de Abreu memimpin tiga kapal atas perintah Alfonso de Albuquerque untuk memonopoli perdagangan.

Meskipun dua kapal tenggelam, satu kapal berhasil mencapai Maluku dan berdagang dengan Sultan Aby Lais.

Sultan Ternate menjanjikan pasokan cengkeh tahunan dengan syarat pembangunan benteng di Ternate.

Baca Juga: Bagaimana Sebab-sebab dan Akibat dari Konflik Aceh dan Portugis?

Hubungan dagang ini berlangsung dari 1522 hingga 1570, namun akhirnya memicu perlawanan dari Ternate terhadap upaya monopoli Portugis.

Puncak konflik terjadi di bawah Sultan Baabullah (1570-1584), yang berhasil mengakhiri monopoli Portugis.

Sementara itu, empat kapal tiba di Sunda Kelapa pada 1513 di bawah komando De Alvin.

Sunda Kelapa, bagian dari Kerajaan Pajajaran dan disebut 'Sunda' oleh Tome Pires, menjadi pusat perhatian saat Raja Sunda, Sang Hyang Prabu Surawisesa, meminta bantuan Portugis untuk membangun benteng sebagai pertahanan terhadap Cirebon.

Sebagai ganti, Portugis diberi hak istimewa dalam pembelian lada.

Namun, Demak menggagalkan rencana ini setelah menyadari tujuan sebenarnya Portugis untuk memonopoli perdagangan.

Campur Tangan dalam Urusan Kerajaan

Hubungan dagang antara Portugis dan Ternate sempat menunjukkan tanda-tanda kepercayaan.

Sayangnya, Portugis menyalahgunakan kepercayaan ini dengan ikut campur dalam urusan internal Ternate, bertindak sewenang-wenang terhadap para Sultan.

Tindakan ini memicu perlawanan yang dipimpin oleh Sultan Khairun pada 1565, yang berhasil menekan kekuatan Portugis hingga mereka terpaksa menangkap dan mengasingkan Sultan Khairun.

Baca Juga: Sesumbar Sebut Ingin Pisah Darah dari NKRI, Faktanya Timor Leste Sudah Merengek Minta Bantuan Militer Indonesia Hanya Sesaat Setelah Merdeka, Sampai Relakan Objek Vital Ini

Kisah perlawanan terhadap kebijakan kolonial Portugis adalah pengingat akan pentingnya mempertahankan kedaulatan.

Kebijakan kolonial Portugis yang memicu perlawanan lokal adalah 2 hal ini, yang akan terus menginspirasi generasi mendatang untuk berani berdiri melawan ketidakadilan.

Baca Juga: Ini Reaksi Kerajaan Nusantara Terhadap Keberadaan Bangsa Asing

Artikel Terkait