Bahkan, KPU mengancam akan mencabut akreditasi sebagai pemantau dalam pemilu.
Pasalnya, dinilai menyalahi aturan pemantau, yakni harus menyampaikan lebih dulu hasil pemantauan kepada KPU sebelum dipaparkan kepada publik.
Walau begitu, LP3ES-NDI tetap melanjutkan Hitung Cepat.
Pada pemilu presiden, hasil Hitung Cepat yang diumumkan LP3ES-NDI pada 6 Juli 2004 juga tidak meleset jauh dari perhitungan suara oleh KPU yang diumumkan 26 Juli 2004.
Hasil penghitungan KPU menyatakan bahwa pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid meraih 22,15 persen suara, Megawati-Hasyim memperoleh 26,61 persen suara, pasangan Amien-Siswono memperoleh 14,66 persen suara, pasangan Yudhoyono-Kalla meraih 33,57 persen, dan pasangan Hamzah-Agum 3,01 persen.
Sementara, dari penghitungan cepat, pasangan Wiranto-Wahid memperoleh 23,3 persen suara, pasangan Megawati-Hasyim meraih 26 persen, pasangan Amien-Siswono dengan 14,4 persen, pasangan Yudhoyono-Kalla memperoleh 33,2 persen suara, dan pasangan Hamzah-Agum meraih 3,1 persen suara.
Pada pilpres putaran kedua, proyeksi hitung cepat kembali terbukti cukup akurat.
Hasil penghitungan KPU menyatakan pasangan Yudhoyono-Kalla unggul dengan meraih 60,62 persen dan pasangan Megawati-Hasyim dengan 39,38 persen.
Sementara hasil hitung cepat menunjukkan, pasangan Yudhoyono-Kalla unggul dengan meraih 60,20 persen dan pasangan Megawati-Hasyim dengan 39,80 persen.
Sejak saat itu, karena tingkat keakuratannya tinggi, Hitung Cepat menjadi rujukan untuk mengikuti jalannya pemilu.
Hitung Cepat menjadi sangat populer di Indonesia.
Banyak lembaga riset atau penelitian yang kemudian juga melakukan penghitungan cepat pada pemilu-pemilu berikutnya, baik untuk pilpres, pileg, atau pilkada.
Beberapa stasiun televisi juga ikut meramaikan, meliput dan menyiarkan ajang penghitungan suara cepat pemilu.
Kompas melalui Litbang Kompas sendiri memulai hitung cepat saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2007. Saat itu, hasil hitung cepat Litbang Kompas hanya berbeda 0,11 persen dengan hasil resmi KPU.
Sejak itu, Litbang Kompas secara rutin menyelenggarakan hitung cepat.
Hingga saat ini, terhitung sebanyak 16 kali hitung cepat yang dilakukan.
Seluruhnya hasilnya memiliki selisih di bawah 1 persen dari perhitungan resmi KPU.
Begitukah quick count, sistem ini pertama kali digunakan di Filipina pada 1986, sistem quick count berperan penting bongkar kecuragan rezeim Ferdinand Marcos dalam menyingkirkan lawan politiknya saat itu, Corazon Aquino.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR