Tepat Di Hari Valentine 1945, Pemberontakan PETA Meledak Di Blitar, Sosok Pemimpinnya Dicari-cari Hingga Sekarang

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Tepat di Hari Valentine 1945, pemberontakan PETA meledak di Blitar, dipimpin oleh sosok yang dicari-cari hingga saat ini.
Tepat di Hari Valentine 1945, pemberontakan PETA meledak di Blitar, dipimpin oleh sosok yang dicari-cari hingga saat ini.

Intisari-Online.com -Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, barangkali orang-orang lebih mengingat peristiwa Rengasdengklok.

Padahal ada satu peristiwa lain yang tak kalah penting yang terjadi pada Hari Valentine 1945.

Benar, tepat di Hari Valentine 1945, pemberontakan PETA meledak di Blitar, dipimpin oleh sosok yang dicari-cari hingga saat ini.

Tak bisa dipungkiri, pemberontakan PETA pada 14 Februari 1945 punya dampak penting terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.

Yang juga patut digarisbawahi, Pemberontakan PETA adalah perlawanan terbesar yang pernah dilakukan Indonesia terhadap tentara Jepang.

Walaupun gagal, pemberontakan di bawah pimpinan Shodancho Supriyadi ini sempat membuat pasukan militer Jepang di Blitar kalang kabut.

Lewat Pemberontakan PETA Blitar, para pemuda menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa menerima penjajahan Jepang.

Prajurit PETA Blitar yang dipimpin Supriyadi berhasil membunuh sejumlah tentara Jepang serta merampas logistik serta senjata.

Pemberontakan PETA di Blitar dilatarbelakangi rasa prihatin para pemuda melihat kesengsaraan rakyat Indonesia akibat pendudukan Jepang.

Jepang yang awalnya datang mencari simpati rakyat Indonesia dengan memberi janji kemerdekaan, justru berlaku sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat pribumi.

Rakyat Indonesia dipaksa menjalani romusha atau kerja paksa demi kepentingan Jepang.

Tentara PETA disebut pernah ditugaskan mengawasi pekerjaan romusha di Pantai Selatan Jawa.

Dari sanalah, mereka menyaksikan secara langsung siksaan berat yang dialami para pekerja romusha.

Para pekerja romusha dipaksa bekerja berat sejak dini hari hingga sore, tanpa diberi makan atau upah.

Makanan dan bantuan kesehatan yang mereka dapatkan juga sangat minim sehingga separuh dari romusha jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat.

Pada akhir 1944, jumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar Blitar berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuan.

Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari laki-laki.

Selain itu, para prajurit PETA Blitar juga melihat kenyataan rakyat yang kelaparan karena diperas oleh Jepang.

Disebutkan bahwa pada suatu sore seusai latihan militer, anggota Daidan Blitar mendengar jeritan para petani yang dipaksa menjual padi melebihi jatah yang ditentukan kepada kumiai.

Kumiai sendiri adalahlembaga ekonomi semacam koperasi bentukan Jepang.

Tak hanya itu, Supriyadi dkk juga tidak tahan melihat sikap arogan dan sombong para tentara Jepang.

Para tentara Jepang pun diketahui kerap melecehkan perempuan-perempuan Indonesia.

Kekejian inilah yang kemudian melatarbelakangi Pemberontakan PETA di Blitar.

Tujuan Pemberontakan PETA di Blitar Pada 1944 hingga 1945, para pemuda Indonesia yang tergabung di PETA sudah mengetahui bahwa Jepang semakin tersudut dalam Perang Pasifik melawan Sekutu.

Oleh karena itu, mereka menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia sudah di depan mata.

Para prajurit PETA lantas menginisiasi gerakan untuk menyerang Jepang dan merebut kemerdekaan Indonesia.

Revolusi menuju kemerdekaan Indonesia pun menjadi tujuan dari Pemberontakan PETA di Blitar.

Supriyadi juga menegaskan bahwa tujuan perlawanan PETA terhadap Jepang adalah untuk merebut kemerdekaan.

Untuk membakar semangat kemerdekaan tentara PETA, salah seorang pemimpin PETA Blitar, Shodanco Suparjono, kemudian kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari.

Pada hari pemberontakan, Shodanco Partoharjono mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar.

Selain itu, salah seorang Bhudancho PETA merobek poster bertuliskan “Indonesia Akan Merdeka” dan menggantinya dengan tulisan “Indonesia Sudah Merdeka!”.

Pemberontakan PETA sendiri dianggap berhasil membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk terus berjuang meraih kemerdekaan.

Tak hanya itu, pemberontakan PETA di Blitar juga menjadi salah satu faktor yang mendorong Jepang untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia.

Ke mana Supriyadi?

Pemberontakan PETA di Blitar tak bisa dilepaskan dari sosok Supriyadi.

Tapi, setelah pemberontakan itu berhasil dipadamkan, sosok Supriyadimenghilang tanpa jejak.

Setelah Indonesia merdeka, Supriyadi sebenarnya sempat diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai menteri pertahanan dan keamanan.

Tapi dia tidak pernah muncul lagi setelah Pemberontakan PETA di Blitar digagalkan Jepang.

Misteri menghilangnya Supriyadi masih menjadi tanda tanya hingga kini.

Supriyadi adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang keberadaannya tidak diketahui hingga kini.

Dia lahir di Trenggalek, Jawa Timur, pada 13 April 1923, sehingga belum genap berusia 22 tahun saat memimpin Pemberontakan PETA di Blitar.

Supriyadi adalah putra Bupati Blitar, Raden Darmadi.

Ibunya juga seorang bangsawan bernama Rahayu.

Di tengah-tengah dia sekolah, Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, sehingga Supriyadi putus sekolah.

Satu tahun kemudian atau pada 1943, Supriyadi akhirnya menyelesaikan sekolahnya dengan mengikuti pelatihan di Seimendoyo, yang diselenggarakan penduduk di Tangerang, Banten.

Selama bersekolah di Tangerang, Supriyadi juga mengikuti pelatihan militer.

Setelah lulus sekolah, Supriyadi lantas bergabung dengan PETA pada akhir 1943.

Dia menjalani pelatihan di sekolah perwira PETA di Tangerang dan menerima pangkat komandan peleton.

Dari Tangerang, Supriyadi dikirim ke Blitar, Jawa Timur, pada awal 1944.

Dia kemudian menjadi pemimpin pasukan Pembela Tanah Air (PETA) Batalion Blitar di bawah kendali pemerintah militer Jepang.

Supriyadi bersama rekan-rekan seperjuangannya melancarkan pemberontakan PETA Blitar karena prihatin melihat kesengsaraan rakyat Indonesia akibat penjajahan Jepang.

Pemberontakan itu sebenarnya sudah direncanakan sejak September 1944, tetapi baru dilaksanakan pada 14 Februari 1945 berdekatan dengan agenda pertemuan seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar.

Pada dini hari tanggal 14 Februari 1945, Supriyadi pun memimpin pasukan PETA memberontak.

Mereka menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Jepang serta menyerang Markas Kempetai.

Namun, sayangnya, pemberontakan PETA Blitar gagal karena aksi Supriyadi dan rekan-rekannya telah diketahui Jepang yang dengan cepat mengirimkan pasukan militer.

Pemberontakan pun dipadamkan.

Jepang menangkap sebanyak 78 perwira dan prajurit PETA untuk dipenjara dan diadili di Jakarta.

Sebanyak enam orang divonis hukuman mati pada 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, sedangkan sisanya dijatuhi hukuman sesuai tingkat kesalahan.

Sementara itu, sang pemimpin Pemberontakan PETA Blitar, Supriyadi menghilang dan tidak pernah muncul lagi.

Misteri menghilangnya Supriyadi masih belum terjawab hingga kini dan menimbulkan berbagai spekulasi.

Sebagian pihak meyakini Supriyadi berhasil lolos dari sergapan tentara Jepang, tetapi keberadaannya tidak diketahui.

Beberapa pihak lainnya menyebut Supriyadi telah tewas terbunuh oleh Jepang dalam pemberontakan PETA di Blitar.

Namun, tidak ada yang tahu di mana jasad dan kuburan Supriyadi.

Sementara itu, ada juga beberapa orang yang kemudian muncul dan mengaku sebagai Supriyadi.

Salah satu orang yang mengklaim dirinya Supriyadi adalah Andaryoko Wisnu Prabu, seorang pensiunan asal Semarang.

Sejarawan Baskara T Wardaya dalam bukunya Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno menuliskan kesaksian Andaryoko yang mengaku sebagai mantan pejuang PETA dan terlibat dalam pemberontakan di Blitar.

Dalam wawancara yang dimuat dalam buku Baskara T Wardaya, Andaryoko mengklaim bahwa dirinya adalah Supriyadi, sang pemimpin Pemberontakan PETA di Blitar.

Namun, data keluarga Andaryoko berbeda dengan Supriyadi.

Dia lahir di Salatiga pada 22 Maret 1920.

Orangtuanya pun bukanlah Darmadi, Bupati Blitar.

Andaryoko juga menyebut, saat pemberontakan, dia selamat dari serangan tentara Jepang dan kemudian melarikan diri ke hutan.

Setelah menjalani masa pelarian di hutan selama berbulan-bulan, Andaryoko kemudian kembali ke rumah orangtuanya di Salatiga.

Dia lalu pergi ke Jakarta dan mengaku menemui Bung Karno untuk meminta saran agar tidak lagi menjadi buronan Jepang.

Andaryoko mengatakan, Bung Karno lantas menyuruhnya kembali ke Semarang untuk menemui Wakil Residen KRT Mr. Wongsonegoro.

Oleh Wongsonegoro, Andaryoko lantas diangkat sebagai staf Karesidenan Semarang.

Bukan hanya itu, ia mengaku di sanalah Supriyadi berganti nama menjadi Andaryoko.

Menurutnya, Wongsonegoro menyarankan Supriyadi untuk mengganti nama agar tidak ketahuan Jepang.

Dia lantas memilih nama Andaryoko dan menggunakan nama itu hingga kini.

Meski demikian, klaim Andaryoko sebagai Supriyadi tentu tidak dapat sepenuhnya dipercaya karena tidak adanya bukti yang kuat.

Keberadaan Supriyadi pun tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga kini.

Kendati belum ada titik terang soal keberadaannya, pada 9 Agustus 1975, Supriyadi dinyatakan telah meninggal dunia oleh pemerintah Indonesia.

Begitulah, tepat di Hari Valentine 1945, pemberontakan PETA meledak di Blitar, dipimpin oleh sosok yang dicari-cari hingga saat ini, semoga bermanfaat.

Artikel Terkait