Intisari-online.com - Pemilihan Presiden 2024 menjadi kontroversial sejak awal, terutama terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Gibran, yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo, dianggap tidak memenuhi syarat usia minimal 40 tahun untuk menjadi cawapres, sesuai dengan Pasal 169 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap menerima pendaftaran Gibran dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 99/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia dibawah 40 tahun.
Putusan MK tersebut dikeluarkan pada 16 Oktober 2023, sembilan hari sebelum batas akhir pendaftaran capres-cawapres.
Keputusan KPU tersebut menuai protes dari berbagai pihak, termasuk peserta pemilu lainnya, masyarakat sipil, dan akademisi.
Mereka mengajukan gugatan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), lembaga yang berwenang mengawasi perilaku penyelenggara pemilu.
DKPP kemudian menggelar sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu oleh KPU.
Sidang tersebut berlangsung sejak Desember 2023 hingga Februari 2024, dengan menghadirkan sejumlah saksi dan ahli.
Baca Juga: Keterbukaan Informasi Publik Pemilu 2024, Bagaimana KPU Menjamin Transparansi dan Akuntabilitas?
Pada Senin (5/2/2024), DKPP akhirnya membacakan putusan yang menyatakan bahwa seluruh komisioner KPU, termasuk ketuanya, Hasyim Asy'ari, terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku dalam proses pendaftaran Gibran.
DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim, dan peringatan keras kepada enam komisioner lainnya.
DKPP menilai bahwa KPU tidak menjalankan tugasnya secara profesional, independen, jujur, adil, dan akuntabel.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR