Intisari-Online.com -Apakah Anda tahu kapan Jepang mulai berkuasa secara resmi di Indonesia?
Apakah Anda tahu bagaimana proses penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang?
Dalam artikel ini, Intisariakan menjelaskan peristiwa yang menandai Jepang berkuasa secara resmi di Indonesia, yaitu sebuah perundingan pada 8 Maret 1942.
Intisariakan membahas latar belakang, jalannya perundingan, dan dampaknya bagi Indonesia.
Artikel ini bersumber dari Kompas.comdanNational Geographic Indonesia.
Kedatangan Jepang ke Indonesia
Jepang mendarat masuk ke Indonesia melalui Ambon dan menguasai seluruh Maluku pada Januari 1942.
Pasukan Koninklijk Nederlandsch Indishc Leger (KNIL) dan pasukan Australia mencoba menghalau, tetapi kalah dengan kekuatan Jepang.
Jepang menguasai daerah Tarakan di Kalimantan Timur bersamaan dengan Balikpapan (12 Januari 1942).
Jepang menyerang Sumatera setelah berhasil masuk Pontianak. Bersamaan dengan serangan ke Jawa (Februari 1942).
Baca Juga: Mengapa Peristiwa Pengeboman Pearl Harbour Terjadi? Jepang Terancam?
Jepang berhasil mendarat di tiga tempat di Pulau Jawa pada tanggal 1 Maret 1942, yaitu Teluk Banten, Eretan Wetan (Indramayu, Jawa Barat), dan Kragan (Rembang, Jawa Tengah).
Di tanggal yang sama, kemenangan tentara Jepang dalam Perang Pasifik menunjukkan kemampuan Jepang dalam mengontrol wilayah yang sangat luas, dari Burma (Myanmar) sampai Pulau Wake di Samudera Pasifik.
Setelah daerah-daerah di luar Jawa dikuasai, Jepang memusatkan perhatian untuk menguasai Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Pengepungan di Kalijati
Kalijati menjadi pintu masuk bagi Jepang sebab di sana ada landasan udara. Dikutip dari National Geographic Indonesia, serangan terakhir Belanda berlangsung di Kalijati.
Pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan di Bandung, Mayor Jenderal JJ Pesman, untuk tidak melakukan pertempuran di Bandung.
Sebab Bandung sudah dipadati penduduk sipil, baik wanita maupun anak-anak. Jika pertempuran terjadi, akan banyak korban sipil berjatuhan. Ter Poorten ingin berunding.
Sore hari tanggal 7 Maret 1942 Lembang jatuh ke tangan Jepang. Jepang berhasil memaksa pasukan KNIL (Koninklijk Netherlandsch Indische Leger) di bawah komando Letjen Ter Poorten melakukan gencatan senjata.
Mayjen JJ Pesman pun mengirim utusan ke Lembang untuk melakukan perundingan. Kolonel Shoji minta agar perundingan dapat dilakukan di Gedung Isola (sekarang dipakai sebagai Gedung Rektorat UPI, Bandung).
Sementara itu, Jenderal Imamura yang dihubungi Kolonel Shoji memerintahkan agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkendborgh Strachouwer untuk mengadakan perundingan di Kalijati, Subang pada pagi hari tanggal 8 Maret 1942.
Akan tetapi, Letjen Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal Tjarda untuk menolak usulan itu.
Baca Juga: Sejarah Kedatangan Jepang ke Indonesia, Kalahkan Tentara dari 4 Negara
Mendengar penolakan itu, Jenderal Imamura mengeluarkan ultimatum.
Bila pada pagi hari 8 Maret 1942 pukul 10.00 para petinggi Belanda belum juga berada di Kalijati, maka Bandung akan dibom sampai hancur.
Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan, sejumlah besar pesawat pengebom Jepang disiagakan di Pangkalan Udara Kalijati.
Melihat perkembangan yang semakin mengkhawatirkan, Jenderal Ter Poorten pemimpin Angkatan Perang Hindia Belanda dihadapkan pada situasi kritis.
Akhirnya pada 8 Maret 1942 Letjen Ter Poorten dan Gubernur Tjarda mengutus Mayjen JJ Pesman, untuk menghubungi Komandan Tentara Jepang dalam upaya melakukan perundingan.
Namun utusan Belanda ini ditolak mentah-mentah Panglima Imamura. Dia hanya mau berbicara dengan Panglima Tentara Belanda atau Gubenur Jenderal.
Pertemuan yang semula direncanakan di Jalan Cagak Subang, akhirnya berlangsung di rumah dinas seorang perwira staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda di Lanud Kalijati.
Rumah itu kini menjadi Museum Rumah Sejarah yang lokasinya berada di Komplek Garuda E-25 Lanud Suryadarma, Kalijati, Subang Jawa Barat.
Perundingan singkat
Perundingan penyerahan kekuasaan dari kolonial Belanda kepada Jepang berlangsung amat singkat.
Dalam transkrip perundingan Kalijati terungkap, Jenderal Immamura bertanya, “Apakah Gubernur Jenderal dan Panglima Tentara mempunyai wewenang untuk mengadakan perundingan ini?”
Baca Juga: Bisa 30 Kali Lebih Tinggi dari Tsunami Jepang, Bencana Hebat Mengintai di Sisi Selatan Jawa
”Saya tidak memiliki wewenang bicara sebagai Panglima Tentara,” jawab Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh.
Pihak Belanda mencoba mengulur-ulur dengan menyatakan hanya Ratu Wilhelmina di Belanda yang punya kewenangan untuk memutuskan.
Imamura tak memberi banyak pilihan. Ia meminta agar Belanda mengumumkan lewat radio penyerahan diri Belanda. Imamura memberi waktu hingga keesokan harinya.
Perundingan di Kalijati itu tak berlangsung lama.
Saat itu juga, Ter Poorten dan Tjarda secara resmi menandatangi dokumen kapitulasi atau penyerahan tanpa syarat Hindia Belanda kepada Jepang.
Keesokan harinya, 9 Maret 1942, Belanda menyiarkan penyerahan dirinya lewat radio.
Perundingan atau Perjanjian Kalijati sekaligus menjadi peristiwa yang menandai Jepang berkuasa secara resmi di Indonesia.
Setelah itu, Ter Poorten dan Tjarda digiring masuk ke kamp tahanan sebagai tawanan perang.
Tjarda awalnya ditahan di sebuah rumah di Bandung. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin.
Pada 2 Januari 1943, bersama tawanan internasional lainnya, Tjarda dibawa ke Formosa (Taiwan).
Demikianlah penjelasan peristiwa yang menandai Jepang berkuasa secara resmi di Indonesia, yaitu perundingan Kalijati pada 8 Maret 1942.
Peristiwa ini merupakan salah satu babak penting dalam sejarah Indonesia, karena menunjukkan akhir dari penjajahan Belanda dan awal dari penjajahan Jepang.
Baca Juga: Mengapa Jepang Membentuk Pemerintahan Militer di Tiga Kawasan?