Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, dari Kutai Hingga Mataram

Ade S

Editor

Lembuswana, makhluk mitologi dari Kerajaan Kutai. Simak ulasan lengkap dan menarik tentang sejarah kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia dari Kutai hingga Mataram yang pernah berjaya di Nusantara.
Lembuswana, makhluk mitologi dari Kerajaan Kutai. Simak ulasan lengkap dan menarik tentang sejarah kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia dari Kutai hingga Mataram yang pernah berjaya di Nusantara.

Intisari-Online.com -Berbagai kerajaan pernah berdiri dan berkembang di tanah air kita.

Salah satu corak kebudayaan yang paling berpengaruh adalah Hindu-Buddha.

Sejarah kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia sangat menarik untuk diketahui.

Anda akan menemukan fakta-fakta mengejutkan dan mengagumkan tentang kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Salakanagara, Sriwijaya, Tarumanegara, dan Mataram.

Bagaimana asal-usul, perkembangan, dan kejayaan mereka?

Bagaimana pengaruh Hindu-Buddha terhadap kehidupan masyarakat dan pemerintahan mereka? Bagaimana akhir dari kerajaan-kerajaan tersebut?

Sejak awal masehi, agama Hindu-Buddha telah menyebar di Indonesia melalui jalur perdagangan.

Kala itu, Nusantara menjalin hubungan dagang dengan India, Tiongkok, dan Timur Tengah yang memudahkan masuknya agama Hindu-Buddha di tengah-tengah masyarakat.

Pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia sangat besar di berbagai bidang, seperti kebudayaan, kepercayaan, ekonomi, sosial, dan pemerintahan.

Banyak kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang muncul dan berkembang pada masa itu. Berikut ini beberapa di antaranya, seperti dilansir dariKompas.com.

Baca Juga: Komoditas yang Sering Diperdagangkan pada Masa Kerajaan Hindu Buddha

Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai adalah kerajaan hindu pertama di Nusantara, yang berlokasi di Kutai, Kalimantan Timur. Kerajaan ini didirikan pada abad ke-5, dan terletak di sekitar Sungai Mahakam.

Kebudayaan India khususnya agama Hindu mengubah sistem pemerintahan di Kutai. Dari kepala suku menjadi raja.

Keberadaan Kerajaan Kutai dibuktikan dengan penemuan tujuh prasasti Yupa yang berasal dari sekitar abad ke-5

Yupa adalah batu peringatan dan tempat mengikat hewan dalam ritual agama Hindu.

Prasasti Yupa ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta dari India. Nama Sang Maharaja Kundungga tertera dalam prasasti-prasasti tersebut.

Nama itu diduga nama asli Indonesia. Raja Kundungga adalah raja pertama Kerajaan Kutai.

Penggantinya seperti Aswawarman, Mulawarman memiliki nama India dan mengadakan upacara Hindu.

Hal ini menunjukkan bahwa raja-raja Kutai adalah orang Indonesia asli yang beragama Hindu.

Kerajaan Salakanagara

Kerajaan Salakanagara adalah kerajaan di Indonesia yang berdiri antara tahun 130-362 M.

Baca Juga: Perkembangan Kehidupan Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Salakanagara dianggap sebagai nenek moyang Suku Sunda, karena wilayahnya sama dengan peradaban Sunda.

Pendiri Kerajaan Salakanagara adalah Dewawarman I yang memerintah antara 130-168 M dengan gelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara.

Kerajaan Salakanagara menguasai daerah Jawa bagian barat selama berdiri.

Namun, setelah 232 tahun berkuasa, Kerajaan Salakanagara tunduk pada Kerajaan Tarumanegara.

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan Buddha terbesar di Sumatera yang didirikan pada abad ke-7.

Prasasti adalah bukti berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti itu menceritakan tentang kerajaan Sriwijaya seperti Prasasti Kedukan bukit, Talang Tuo, Karang Berahi, dan Telaga Batu.

Selain prasasti, ada juga berita dari China. Pendeta I-Tsing pada 671 masehi mengatakan pernah mampir di Sriwijaya dan mempelajari bahasa Sansekerta.

Pendeta China disarankan belajar agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya. Raja-raja Sriwijaya selalu menjadi pelindung agama Buddha dan penganut yang setia. Hal ini terlihat dari perkembangan agama Buddha yang merambah ke luar negeri.

Kerajaan Tarumanegara

Terakhir adalah Kerajaan Tarumanegara yang didirikan pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M.

Baca Juga: Apa yang Menjadi Ciri Khas Kerajaan Majapahit Hingga Jadi Istimewa?

Pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah Maharesi Jayasingawarman dari India, yang datang ke Nusantara karena konflik dan penjajahan oleh pasukan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Kerajaan yang berada di pinggir Sungai Citarum, Jawa Barat ini mencapai puncak kemakmuran pada masa pemerintahan Raja Purnawarman yang berkuasa antara 395-434 M.

Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Tarumanegara menguasai 48 daerah di Nusantara.

Sayangnya, kejayaan ini tidak berlangsung lama, karena Kerajaan Tarumanegara hancur pada 669 M.

Kerajaan Mataram Kuno

Di bagian Selatan Jawa Tengah, terdapat Kerajaan Mataram Kuno yang pusatnya di lembah Sungai Progo. Wilayah kerajaan ini meliputi dataran tinggi Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta.

Kerajaan Mataram Kuno didirikan pada abad ke-8. Raja Sanjaya adalah raja pertama kerajaan ini yang terkenal sebagai raja yang hebat, berani dan cerdas.

Kerajaan Mataram Kuno mengalami pergantian dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sailendra. Hal ini terlihat dari prasasti Canggal 732 masehi dan prasasti Balitung.

Pada abad ke 10, pemerintahan Mataram di Jawa Tengah bubar dan muncul pemerintahan Mataram di Jawa Timur dengan Mpu Sendok sebagai raja pertamanya di abad ke 10.

Raja yang berkuasa dan terkenal lainnya adalah Dharmawangsa Teguh abad ke-10 dan Raja Airlangga abad ke-11.

Kerajaan Kendan

Salah satu kerajaan Hindu-Buddha di Tatar Sunda adalah Kerajaan Kendan.

Kerajaan Kendan berdiri pada 536 M oleh Resiguru Manikmaya. Pusat pemerintahannya berada di Desa Nagreg Kendan dan Desa Citaman, Bandung, Jawa Barat.

Kerajaan Kendan tunduk pada Kerajaan Tarumanegara sejak awal berdirinya.

Kerajaan Kendan berakhir ketika Wretikandayun memerintah, yang memilih untuk mendirikan kerajaan baru di Galuh.

Demikianlah ulasan tentang sejarah kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia dari Kutai hingga Mataram. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan Anda tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia.

Baca Juga: Bagaimana Pengaruh Kebudayaan Hindu-Buddha pada Sistem Keagamaan, Pemerintahan, Sosial, dan Seni Budaya?

Artikel Terkait