Kekerasan sektarian antara Muslim Rohingya Sunni dan komunitas Buddha lokal pecah pada 2012, menyebabkan lebih dari 100 orang tewas dan negara terbagi menurut agama.
Puluhan ribu orang Rohingya lalu melarikan diri selama lima tahun berikutnya ke Banglades dan Asia Tenggara, dengan perjalanan laut yang berbahaya dan dikendalikan oleh geng perdagangan brutal.
Terlepas dari penganiayaan selama beberapa dekade, sebagian besar orang Rohingya tidak melawan balik dengan kekerasan.
Baru pada 2016 sebuah kelompok militan kecil dan sebelumnya tidak dikenal yaitu Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan serangkaian serangan yang terkoordinasi dengan baik dan mematikan terhadap pasukan keamanan.
Militer Myanmar pun menanggapinya dengan tindakan keras besar-besaran dengan alasan keamanan.
Diperkirakan 391.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh pada 2017, menurut PBB.
Mereka membawa serta kisah-kisah mengerikan tentang pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran.
Setelah dipuji secara internasional atas perlawanan puluhan tahun terhadap junta Myanmar, pemerintahan Aung San Suu Kyi kemudian menepis kekhawatiran dunia tentang pelanggaran hak atas Rohingya.
Suu Kyi membela perilaku tentara dan pada 2019 ke Den Haag, Belanda, untuk membantah tuduhan genosida di pengadilan tinggi PBB.
Pada Februari 2021 dia dipenjarakan kembali oleh para jenderal yang dia bela saat Myanmar mengalami kudeta lagi.
Junta Myanmar saat ini mengeklaim pengadilan PBB tidak memiliki yurisdiksi dan meminta kasus tersebut dihentikan.
Statistik terbaru menunjukkan, sebanyak 850.000 orang Rohingya sekarang merana di kamp-kamp Banglades, dengan sekitar 600.000 lainnya di negara bagian Rakhine.
Begitulah sejarah singkat Rohingnya dan bagaimana nasib mereka yang terlunta-lunta.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR