Kisah Heroik Tentara Indonesia yang Menolak Mundur dari Jakarta atas Perintah NICA dan Sekutu

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Kedatangan Pasukan NICA ke Indonesia
Ilustrasi - Kedatangan Pasukan NICA ke Indonesia

Intisari-online.com - Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun Belanda tidak mengakui kemerdekaan tersebut.

Belanda berusaha untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia dengan dibantu oleh Sekutu.

Yaitu pasukan Inggris yang datang ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang yang telah menyerah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945.

Belanda membentuk badan pemerintahan sipil yang disebut NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang bertugas sebagai penghubung antara pemerintah Belanda dengan komando tertinggi Sekutu di Pasifik Barat Daya yang dipimpin oleh Jenderal Douglas MacArthur.

NICA dan pemerintah Belanda telah menyepakati bahwa jika nanti Indonesia berhasil direbut oleh pasukan Sekutu dari tangan Jepang, maka Indonesia akan diserahkan kepada NICA.

NICA dan Sekutu mendarat di Jakarta pada 29 September 1945 dan disambut dengan baik oleh rakyat Indonesia yang menganggap mereka sebagai pembawa perdamaian.

Namun, setelah diketahui bahwa kedatangan Sekutu diikuti oleh NICA, maka respon rakyat Indonesia berubah menjadi tidak baik.

Rakyat Indonesia menyadari bahwa NICA datang untuk menggagalkan kemerdekaan Indonesia dan menindas rakyat.

NICA juga berusaha mempersenjatai kembali tentara Kerajaan Belanda (KNIL) yang ditawan oleh Jepang dan melakukan provokasi yang memicu kerusuhan.

Salah satu provokasi yang paling terkenal adalah pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) di Surabaya pada 19 Oktober 1945.

Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya yang kemudian menyerbu hotel tersebut dan menurunkan bendera Belanda.

Baca Juga: Debat Cawapres Viral Di Media Sosial, Ini Sejarah Debat Capres-cawapres Di Indonesia

Peristiwa ini memicu pertempuran besar antara rakyat Surabaya yang dipimpin oleh Bung Tomo dengan pasukan NICA dan Sekutu yang disebut sebagai Pertempuran Surabaya.

Pertempuran ini berlangsung selama sebulan, dari 27 Oktober hingga 20 November 1945, dan menelan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.

Pertempuran Surabaya menjadi salah satu peristiwa heroik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Selain di Surabaya, pertempuran antara rakyat Indonesia dengan NICA dan Sekutu juga terjadi di berbagai daerah lain, seperti Medan, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta.

Di Jakarta, rakyat Indonesia juga tidak tinggal diam menghadapi ancaman NICA dan Sekutu.

Mereka bersiap-siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan segala cara.

Salah satu contoh kisah heroik tentara Indonesia yang menolak mundur dari Jakarta atas perintah NICA dan Sekutu adalah kisah Letnan Kolonel Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia ke-2.

Pada saat itu, Soeharto menjabat sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreise III yang bertanggung jawab atas pertahanan Jakarta.

Pada 21 Juli 1947, NICA dan Sekutu melancarkan serangan besar-besaran terhadap Jakarta yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I.

Serangan ini bertujuan untuk menguasai ibu kota Indonesia dan menangkap para pemimpinnya, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Soeharto bersama pasukannya berjuang dengan gigih untuk menghalau serangan NICA dan Sekutu.

Baca Juga: Bukan Dari Kutub Utara Tapi Dari Turki, Inilah Sejarah Sinterklas, Di Jerman Diidentikkan Dengan Dewa Odin

Mereka berhasil mempertahankan beberapa pos penting di Jakarta, seperti Lapangan Merdeka, Istana Merdeka, dan Stasiun Gambir.

Mereka juga berhasil menggagalkan upaya NICA dan Sekutu untuk menembus pertahanan di Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, dan Jalan Veteran.

Namun, karena kalah jumlah dan persenjataan, Soeharto mendapat perintah dari atasannya, Mayor Jenderal Sudirman, untuk mundur dari Jakarta dan bergabung dengan pasukan lain di Yogyakarta.

Perintah ini diberikan untuk menghindari korban yang lebih besar dan untuk menyelamatkan para pemimpin Indonesia yang akan dievakuasi ke Yogyakarta.

Soeharto tidak serta-merta menuruti perintah tersebut. Ia merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota Indonesia.

Ia juga tidak mau meninggalkan rakyat Jakarta yang masih berjuang melawan NICA dan Sekutu.

Kemudian memutuskan untuk tetap bertahan di Jakarta dan melanjutkan perlawanan.

Soeharto kemudian membagi pasukannya menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama dipimpin oleh Mayor Isdiman yang bertugas untuk mengawal para pemimpin Indonesia dan pasukan lain yang akan mundur ke Yogyakarta.

Kelompok kedua dipimpin oleh Soeharto sendiri yang bertugas untuk tetap berada di Jakarta dan mengadakan gerilya.

Soeharto dan pasukannya berhasil menyusup ke Jakarta dan bersembunyi di berbagai tempat, seperti rumah-rumah penduduk, masjid, gereja, dan sekolah.

Baca Juga: Serangan Udara Inggris di Cicadas 21 Desember 1945, Ini Fakta dan Data di Baliknya

Mereka melakukan serangan-serangan mendadak terhadap NICA dan Sekutu yang menguasai Jakarta.

Mereka juga membantu rakyat Jakarta yang masih berjuang dengan memberikan bantuan logistik, senjata, dan informasi.

Soeharto dan pasukannya berhasil bertahan di Jakarta selama beberapa bulan.

Mereka menunjukkan semangat juang yang tinggi dan tidak kenal menyerah.

Mereka menjadi inspirasi dan harapan bagi rakyat Indonesia yang masih berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Kisah heroik Soeharto dan pasukannya ini menjadi salah satu bukti bahwa rakyat Indonesia tidak pernah takut menghadapi NICA dan Sekutu yang ingin menghancurkan kemerdekaan Indonesia.

Kisah ini juga menjadi salah satu saksi sejarah bahwa Jakarta adalah ibu kota Indonesia yang tidak pernah jatuh ke tangan penjajah.

Artikel Terkait