Peristiwa Sejarah Hari Ini: Ketika Hasan Tiro Mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka 47 Tahun Yang Lalu

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Artikel ini membahas tentang peristiwa sejarah hari ini: ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka 47 tahun yang lalu.
Artikel ini membahas tentang peristiwa sejarah hari ini: ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka 47 tahun yang lalu.

Intisari-Online.com -Semua berawal dari rasa tidak puas terhadap pemerintahan pusat yang ada di Jakarta.

Rasa tidak puas itu kemudian termanifestasi dalam bentuk Gerakan Aceh Merdeka yang dideklarasikan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976, 47 tahun yang lalu.

Artikel ini akan membahas tentang "Peristiwa sejarah ini: Ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka pada 47 tahun yang lalu".

Bagaimana sebenarnya peristiwa ini terjadi?

Gerakan Aceh Merdeka atau GAM merupakan gerakan separatisme bersenjata yang berpusat di Aceh.

Gerakan ini lahir dari rasa kecewa terhadap pemerintahan pusat yang ada di Jawa, di Jakarta.

Sebagai gerakan separatisme, GAM, yang muncul pada masa Presiden Soeharto, tentu punya tujuan untuk berpisah atau merdekar dari NKRI.

GAM dipimpin oleh Tengku Hasan Di Tiro, dikenal sebagai Hasan Tiro, melalui pernyataan yang dilakukan di perbukitan Halimon, Kabupaten Pidie.

Gerakan yang lahir pada 4 Desember 1976 ini menyerukan melawan pemerintah Republik Indonesia.

Mengutip Kompas.com, sebelum jadi GAM, gerakan ini menyebut dirinya sebagai Aceh Merdeka (AM) saja.

Gerakan ini kemudian juga dikenal dengan sebutan Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF).

Latar belakang kemunculan Gerakan Aceh Merdeka adalah konflik yang bersumber dari perbedaan pandangan tentang hukum Islam.

Juga kekecewaan terhadap distribusi sumber daya alam di Aceh, dan peningkatan jumlah pendatang dari Jawa.

Pemerintah pusat saat itu disebut menerapkan politik sentralistis yang memicu tumbuhnya rasa kekecewaan di benak masyarakat Aceh.

Sayangnya, saat itu cara mengatasi Gerakan Aceh Merdeka yang diambil oleh pemerintah pusat kurang tepat hingga muncul perlawanan yang kemudian dimanfaatkan kelompok tersebut untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Pada akhirnya konflik yang terjadi sejak 1976 hingga 2005 ini justru merugikan kedua belah pihak dan telah menelan nyawa sebanyak hampir 15.000 jiwa.

Kronologi Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

1976-1977

Setelah deklarasi Hasan Tiro pada 1976, milisi GAM mulai melakukan gerakan-gerakan represif.

Perlawanan yang terjadi melalui teknik gerilya itu menewaskan milisi GAM dan juga masyarakat sipil.

Meskipun begitu, gerakan milisi GAM berhasil digagalkan oleh pemerintah pusat dan kondisi bisa dinetralisir.

1989-1998

GAM kembali melakukan aktivitas setelah mendapatkan dukungan dari Libya dan Iran berupa peralatan militer.

Pelatihan perang yang didapat di luar negeri menyebabkan perlawanan mereka tertata dan terlatih dengan baik sehingga sulit dikendalikan.

Hal ini membuat pemerintah merasakan munculnya ancaman baru, yang kemudian menjadi alasan ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).

Pembakaran desa-desa yang diduga menampung anggota GAM dibakar, dan militer Indonesia menculik dan menyiksa anggota tersangka tanpa proses hukum yang jelas.

Diyakini terjadi setidaknya 7.000 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama pemberlakuan DOM di Aceh.

1998

Lengsernya pemerintahan Orde Baru dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden memberi peluang bagi GAM membangun kembali kelompok mereka.

Presiden BJ Habibie pada 7 Agustus 1998 mencabut status DOM dan memutuskan menarik pasukan dari Aceh yang justru memberi ruang bagi GAM untuk mempersiapkan serangan berikutnya.

2002

Pada 2002 kekuatan militer dan polisi di Aceh semakin berkembang dengan jumlah pasukan menjadi sekitar 30.000.

Setahun setelahnya, jumlah pasukan semakin meningkat hingga menyentuh angka 50.000 personil.

Bersamaan dengan hal tersebut, terjadi juga berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh milisi GAM yang mengakibatkan jatuhnya ribuan korban dari pihak sipil.

2003

Masyarakat Aceh akan mengingat kejadian di tanggal 19 Mei 2003 di mana Aceh dinyatakan sebagai daerah dengan status darurat militer.

Hal ini dilakukan setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku mulai Senin (19/5/2003) pukul 00.00 WIB.

Adapun usaha pemerintah yang ditempuh melalui kekuatan militer di Aceh juga mulai terlihat hasilnya pada tahun 2003.

Kesepakatan Helsinki

Gempa bumi yang menimpa wilayah Sumatera termasuk aceh pada 26 Desember 2004 memaksa kedua pihak yang bertikai untuk duduk bersama di meja perundingan, dengan inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional.

Hal ini juga menjadi permulaan usaha GAM untuk menuntut kemerdekaan Aceh melalui jalur-jalur diplomatik.

Pihak pemerintah Indonesia dan GAM pada 27 Februari 2005 bersama-sama memulai langkah perundingan dengan melakukan pertemuan di Finlandia.

Delegasi Indonesia dalam perundingan itu diwakili oleh Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja.

Sementara dari pihak GAM diwakili oleh Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan Bachtiar Abdullah.

Dari pertemuan tersebutlah muncul beberapa kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan GAM untuk mencapai perdamaian.

Kesepakatan tersebut terdiri dari enam bagian, yaitu:

Menyangkut kesepakatan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.

- Tentang Hak Asasi Manusia.

- Tentang Amnesti dan Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat,

- Tentang Pengaturan Keamanan.

- Tentang Pembentukan Misi Monitoring Aceh.

- Tentang Penyelesaian Perselisihan.

Termuat pula 71 butir kesepakatan yang diantaranya menyebutkan:

- Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan pada semua sektor publik

- Keamanan nasional

- Hal ikhwal moneter dan fiskal

- Kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama

Kesepakatan Helsinki tercapai dengan perundingan yang berlangsung selama lima putaran, dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005.

Perdamaian ini kemudian ditandai dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI di Helsinki, Finlandia.

Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN.

Setelah perjanjian damai, senjata GAM yang berjumlah 840 diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005, menyusul pembubaran secara formal sayap militer Tentara Neugara Aceh (TNA) pada 27 Desember 2005 sebagaimana dilaporkan oleh juru bicara militernya, Sofyan Dawood.

Menyusul hal tersebut, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang memberikan keleluasaan khusus bagi Aceh dalam menjalankan pemerintahannya sendiri (otonomi khusus).

Itulah peristiwa sejarah ini: Ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka pada 47 tahun yang lalu.

Artikel Terkait