Inilah Tradisi Boh Gaca, Cara Masyarakat Aceh Menyambut Upacara Pernikahan

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Tradisi boh gaca di Aceh tak hanya terjadi pada perempuan. Di beberapa tempat, juga diterapkan kepada pengantin pria.
Tradisi boh gaca di Aceh tak hanya terjadi pada perempuan. Di beberapa tempat, juga diterapkan kepada pengantin pria.

Tradisi boh gaca di Aceh tak hanya terjadi pada perempuan. Di beberapa tempat, juga diterapkan kepada pengantin pria.

Intisari-Online.com -Kekayaan tradisi Indonesia tak diragukan lagi, termasuk tradisi pernikahannya.

Di Aceh, orang-orang mengenal tradisi boh gaca, yang biasa dijumpai di acara perkawinan dan sunatan.

Tradisi boh gaca di Aceh erat hubungannya dari budaya India.

Bagaimanapun juga, Aceh pada zaman lampau merupakan persimpangan jalur perdagangan rempah dunia, sehingga banyak saudagar dari penjuru dunia menyinggahi Aceh.

Ada dari negara Arab, India dan beberapa negara lain. Hal inilah yang memicu terjadinya asimilasi budaya di daerah Tanah Rencong itu.

Salah satunya tradisi boh gaca, yang hingga kini masih lestari di tengah masyarakat.

Kendati demikian, adat dan budaya di Aceh berlandaskan ajaran Islam.

Boh gaca juga menjadi tradisi sakral yang diawali dengan shalawat, doa, lalu peusijuek atau tepung tawar adat Aceh, baru kemudian memakaikan dan melukis inai di tangan hingga kaki pengantin.

"Tujuan boh gaca ini untuk keindahan, supaya cantik, indah, agar pengantin terlihat berbeda dengan hari-hari biasa," ujar Irma.

Kita tahu, Aceh memiliki banyak etnis, dengan keragaman budaya.

Sehingg, di sini terdapat tradisi boh gaca yang berbeda-beda.

Setiap daerah memiliki motif ukiran yang khas masing-masing, dan hampir semuanya memiliki paten.

Di antara motif itu adalah motif rumpun biluluk asal Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), pucuk daun nilam dari Aceh Jaya, dan motif Bungong Ue (bunga kelapa) dari Kota Sabang.

Bahkan sebagian dari motif-motif tersebut sudah masuk dalam warisan budaya tak benda (WBTB).

Lazimnya boh gaca hanya untuk pengantin perempuan.

Mulai dari jari tangan, kaki dan telapak kaki, lengkap dengan ukiran-ukiran motif khas.

Namun, di beberapa daerah, pengantin pria juga dipakaikan inai.

Mulai dari tiga jari saja seperti jempol, tengah, dan kelingking.

Ada juga daerah yang hanya jempol saja.

Tak hanya untuk keindahan, boh gaca juga dipercayai memiliki khasiat sebagai antiseptik dan baik untuk kesehatan.

“Antiseptik yang luar biasa. Jadi itu perlu kita ingatkan dan kita lestarikan,” ujar Pengurus Majelis Adat Aceh (MAA), Nur Asma.

Di sisi lain, boh gaca juga menjadi tradisi tempat berkumpul keluarga.

Biasanya sembari melukis inai, pengantin juga mendapatkan siraman nasihat dari orang yang dituakan lewat lantunan syair-syair.

Umumnya tentang pernikahan, sebagai bekal pengantin baru dalam menghadapi lembaran hidup ke depannya.

Kepala Bidang Adat Istiadat MAA Aceh Barat Daya, Syeh Sabirin, menyebut tradisi boh gaca masih terawat dengan baik di tengah masyarakat setempat.

Bahkan, apabila belum menjalankan tradisi boh gaca, maka upacara adat perkawinan dinilai belum lengkap.

Untuk pengantin perempuan, inai dipakaikan di semua bagian tangan dan kaki, lengkap dengan ukiran.

Untuk pengantin laki-laki, hanya jari jempol, tengah dan kelingking.

Berbeda dengan pengantin sunat rasul.

Seorang anak laki-laki yang akan disunat juga menggunakan inai di semua jari tangan dan kaki, sama seperti pengantin perempuan.

“Untuk motif kita mengadopsi rumpun biluluk, ditambah beberapa ukiran lain,” ujar dia.

Bagi masyarakat Aceh Barat Daya, boh gaca bukan hanya untuk keindahan semata.

Mereka juga mempercayai tradisi itu sebagai sanggamara dari hal-hal negatif, agar pengantin baru tersebut terlindungi dari gangguan supranatural.

Boh gaca juga disebut dapat menyerap racun atau toksin dalam tubuh.

Tandanya, apabila gaca yang telah diukir di kaki berwarna hitam, maka di tumbuh dia banyak zat racun, toksin.

"Namun, jika berwarna merah muda, maka di tubuhnya normal. Jadi gaca ini jadi sebagai penawar juga," ujar Sabirin.

Biasanya, tradisi boh gaca dilakukan saat malam hari, selama tiga malam berturut-turut.

Daun pacar yang digiling juga tidak sembarang, tetapi memiliki ketentuan khusus.

Batu giling daun pacar juga harus dilapisi tujuh kain dan daun pisang.

Tentu syarat-syarat ini memiliki makna tersendiri bagi masyarakat lokal.

"Harapan kita boh gaca ini terus dilestarikan dan diwariskan pada generasi muda, jangan terpengaruh oleh budaya luar," ujar Sabirin.

Pengaruh luar Irma menyebut tradisi boh gaca di Aceh mulai terpengaruh budaya luar.

Banyak budaya Aceh yang sudah berubah karena perkembangan zaman, dan masuknya budaya asing.

Kini, banyak masyarakat yang menggunakan henna instan.

Tidak lagi menggunakan daun pacar asli dari pohon yang ditanam di Aceh.

Saat pembuatannya pun, masyarakat mulai meninggalkan tradisi adatnya, selayaknya tradisi boh gaca.

"Yang penting bagi mereka ada hennanya. Tidak hanya henna India, tapi ada henna warna putih yang memang sudah jauh dari tradisi kita,” ujar dia.

Sebab itu, PKA menjadi momentum yang sangat penting untuk melahirkan pahlawan-pahlawan baru dalam upaya melestarikan dan memperkenalkan budaya kepada generasi muda, salah satunya seperti tradisi boh gaca.

Apalagi, kata Irma, Aceh juga telah memiliki sekitar 67 warisan budaya tak benda, mulai dari bentuk tarian, kuliner, tradisi, motif, dan lainnya.

Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh Evi Mayasari menyebut untuk pelestarian motif, telah disusun buku tentang beragam motif khas Aceh.

Buku ini diharapkan menjadi panduan bagi daerah dalam merawat motif Aceh, agar tidak tergerus dan tergantikan dengan motif-motif luar. Tradisi boh gaca juga sedang dipersiapkan untuk diusulkan menjadi WBTB.

Artikel Terkait