Intisari-online.com -Konflik antara Israel dan Palestina adalah salah satu konflik terpanjang dan paling rumit di dunia.
Konflik ini bermula dari sengketa wilayah yang melibatkan klaim historis, agama, dan politik atas tanah yang disebut sebagai Tanah Suci oleh tiga agama monoteis: Yahudi, Kristen, dan Islam.
Tanah Suci ini mencakup wilayah yang sekarang dikenal sebagai Israel, Palestina, Yordania, Lebanon, dan sebagian Suriah.
Sejarah konflik ini dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno, ketika bangsa Yahudi pertama kali mendirikan kerajaan mereka di tanah Kanaan sekitar abad ke-10 SM.
Namun, kerajaan ini kemudian runtuh akibat penaklukan oleh bangsa Asyur, Babilonia, Persia, Yunani, Romawi, dan lainnya.
Bangsa Yahudi terusir dari tanah mereka dan tersebar ke berbagai belahan dunia dalam peristiwa yang disebut diaspora.
Selama berabad-abad, tanah Kanaan dikuasai oleh berbagai kekuatan asing, termasuk Kekhalifahan Islam, Kesultanan Utsmaniyah, dan Kekaisaran Britania.
Pada akhir abad ke-19, muncul gerakan nasionalis Yahudi yang disebut Zionisme, yang bertujuan untuk mendirikan kembali negara Yahudi di tanah leluhur mereka.
Gerakan ini mendapat dukungan dari beberapa negara Barat, terutama Britania Raya.
Pada tahun 1917, Menteri Luar Negeri Britania Raya Arthur Balfour mengeluarkan sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa pemerintah Britania Raya mendukung pembentukan "tanah air nasional" bagi bangsa Yahudi di Palestina.
Deklarasi ini menimbulkan kemarahan dari bangsa Arab yang juga mengklaim tanah Palestina sebagai milik mereka.
Baca Juga: Akankah Perang Berakhir pada Agustus 1945 Seandainya Amerika Serikat Tidak Jatuhkan Bom Atom?
Bangsa Arab merasa dikhianati oleh Britania Raya, yang sebelumnya berjanji untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Arab jika mereka membantu melawan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I.
Pada tahun 1922, Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada Britania Raya untuk mengurus Palestina.
Britania Raya berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan antara bangsa Yahudi dan Arab, tetapi gagal mengatasi ketegangan dan kekerasan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut.
Sementara itu, imigrasi Yahudi ke Palestina terus meningkat seiring dengan meningkatnya antisemitisme di Eropa.
Pada tahun 1937, sebuah komisi kerajaan Britania Raya yang dipimpin oleh Lord Peel merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua negara: satu untuk bangsa Yahudi dan satu untuk bangsa Arab.
Namun, rencana ini ditolak oleh kedua belah pihak. Bangsa Yahudi menginginkan tanah yang lebih luas dan mencakup Yerusalem, sedangkan bangsa Arab menolak untuk melepaskan sebagian tanah mereka.
Pada tahun 1947, setelah Perang Dunia II dan Holocaust yang menewaskan jutaan Yahudi di Eropa, Britania Raya memutuskan untuk menyerahkan masalah Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 181 yang mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara: satu untuk bangsa Yahudi dengan luas 56% dari wilayah Palestina dan satu untuk bangsa Arab dengan luas 43% dari wilayah Palestina.
Yerusalem akan menjadi kota internasional yang dikelola oleh PBB.
Resolusi ini diterima oleh mayoritas anggota PBB dan oleh sebagian besar pemimpin Zionis.
Namun, resolusi ini ditolak oleh semua negara Arab dan oleh sebagian besar bangsa Arab di Palestina.
Baca Juga: Pernah Pimpin Serangan ke Israel, Sosok Komandan Hamas Selalu Lolos dari Pembunuhan Israel Ini
Pada tanggal 14 Mei 1948, sehari sebelum berakhirnya mandat Britania Raya, pemimpin Zionis David Ben-Gurion secara sepihak mendeklarasikan berdirinya Negara Israel.
Deklarasi ini memicu perang antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya, yaitu Mesir, Suriah, Yordania, Irak, dan Lebanon.
Perang ini berlangsung selama satu tahun dan berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi oleh PBB.
Hasilnya, Israel berhasil mempertahankan kemerdekaannya dan menguasai 78% dari wilayah Palestina, sementara sisanya dikuasai oleh Yordania (Tepi Barat) dan Mesir (Jalur Gaza).
Sejak itu, konflik antara Israel dan Palestina terus berlanjut dengan berbagai bentuk, mulai dari perang, pemberontakan, terorisme, hingga negosiasi damai.
Beberapa upaya perdamaian telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk PBB, Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan negara-negara Arab.
Namun, hingga saat ini belum ada solusi permanen yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.