Intisari-online.com - Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda tidak mau mengakui kedaulatan bangsa Indonesia dan berusaha untuk mengembalikan kekuasaannya di tanah air.
Hal ini menimbulkan konflik dan pertempuran antara Indonesia dan Belanda, yang memerlukan penyelesaian melalui jalur diplomasi.
Salah satu upaya diplomasi yang dilakukan adalah perundingan antara Indonesia dan Belanda di Hoge Veluwe, Belanda, pada tanggal 14-24 April 1946.
Perundingan ini merupakan lanjutan dari perundingan pendahuluan yang telah menghasilkan Draft Jakarta pada 27 Maret 1946.
Dalam Draft Jakarta, Belanda mengakui secara de facto pemerintahan Indonesia yang meliputi Jawa dan Sumatera.
Selain itu, Belanda juga sepakat untuk membahas gagasan hubungan sejajar antara Belanda dan Indonesia sebagai dua negara berdaulat.
Namun, perundingan Hoge Veluwe gagal mencapai kesepakatan karena adanya perbedaan pandangan dan tuntutan dari kedua pihak.
Indonesia menuntut agar Belanda mengakui kedaulatan de jure Republik Indonesia atas seluruh wilayah Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda.
Selain itu, Indonesia juga menolak usulan Belanda untuk membentuk negara federal yang terdiri dari beberapa negara bagian di bawah naungan Uni Indonesia-Belanda.
Belanda, di sisi lain, tidak mau mengakui kedaulatan de jure Indonesia dan hanya bersedia memberikan status otonomi luas kepada Indonesia.
Belanda juga tetap berpegang pada rencana pembentukan negara federal yang akan menjadi anggota Uni Indonesia-Belanda.
Baca Juga: Pertempuran Batavia 1628-1629, Serangan Gagal Dipati Ukur ke Benteng VOC
Belanda berharap dengan cara ini dapat mempertahankan pengaruhnya di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Karena tidak ada titik temu yang dapat ditemukan, perundingan Hoge Veluwe pun bubar tanpa hasil.
Hal ini menimbulkan kekecewaan dan ketegangan di kedua belah pihak.
Indonesia merasa bahwa Belanda tidak sungguh-sungguh menghormati hak-hak bangsa Indonesia untuk menentukan nasib sendiri.
Belanda merasa bahwa Indonesia tidak kooperatif dan tidak realistis dalam menuntut kemerdekaan penuh.
Meskipun demikian, upaya diplomasi tidak berhenti sampai di situ.
Dengan bantuan Inggris sebagai penengah, terutama Lord Killearn, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilanjutkan di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 11-13 November 1946.
Perundingan ini berhasil mencapai kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Linggarjati.
Dalam Perjanjian Linggarjati, Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia Serikat (RIS) yang meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura sebagai negara merdeka dan berdaulat.
RIS akan menjadi anggota Uni Indonesia-Belanda bersama dengan negara-negara bagian lainnya yang akan dibentuk di luar RIS.
Uni Indonesia-Belanda akan memiliki raja atau ratu sebagai kepala negara bersama dan badan perwakilan bersama untuk menangani urusan luar negeri, pertahanan, keuangan, dan kebudayaan.
Baca Juga: Peristiwa atau Hal yang Dapat Menyebabkan Pasokan Listrik Berkurang
Perjanjian Linggarjati merupakan tonggak penting dalam sejarah diplomasi Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Perjanjian ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu bernegosiasi dengan Belanda secara setara dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional.
Perjanjian ini juga membuka jalan bagi pengakuan internasional terhadap kedaulatan Indonesia.
Namun, perjanjian ini juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia.
Beberapa pihak menganggap perjanjian ini sebagai kemenangan diplomasi Indonesia, sementara yang lain menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Perjanjian ini juga menghadapi kendala dalam pelaksanaannya karena adanya perbedaan interpretasi dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Belanda.
Hal ini akhirnya memicu terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947.