Saat Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda, ternyata sosok yang pertama menyanyikan lagu Indonesia Raya adalah seorang perempuan muda.
Intisari-Online.com -Lagu Indonesia Raya memang identik dengan Wage Rudolf Supratman.
Dialah komposer sekaligus pencipta lagu tersebut.
Tapi ternyata bukan dia sosok pertama yang menyanyikan lagu yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia itu.
Orang pertama yang menyanyikan Indonesia Raya adalah seorang perempuan, namanya Theodora Athia Salim alias Dolly Salim.
Aksi menyanyi itu terjadi saat Kongres Pemuda II yang kelak melahirkan Sumpah Pemuda.
Bagi Dolly, 28 Oktober 1928 merupakan hari yang tak akan pernah dia lupakan.
Bersama salah seorang rekannya dari Minahasa bernama Johana Tumbuan, Dolly merupakan sedikit pemudi yang hadir dalam kongres yang diselenggarakan di Jl. Kramat Raya No 106 Jakarta itu.
Ketika itu Dolly masih 15 tahun.
Meski awalnya menolak, karena merasa secara umur belum masuk kategori pemuda, Dolly akhirnya mau mengikuti ajakan teman-temannya.
Saat itu, Dolly mewakili organisasi kepanduan National Indonesische Padvinderij (Natipij) yang berada di bawah naungan Jong Islamieten Bond (JIB).
Waktu itu, Haji Agus Salim menjabat sebagai penasibat di organisasi tersebut.
Setelah menghasilkan keputusan-keputusan yang sangat penting untuk meneruskan perjuangan kemerdekaan Indonesia, Kongres Pemuda II akhirnya ditutup dengan memperdengarkan lagu Indonesia Raya.
W.R. Supratman, si pencipta lagu, mengiringi lagu itu dengan biola ikoniknya.
“Hadirin segera senang dengan lagu itu dan minta diulang. Dolly, salah satu gadis remaja, putri sulung Haji Agus Salim, menyanyikan lirik lagu tersebut,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Historie Indonesia Jilid 2.
Tak lama setelah kongres berakhir, ada salah satu peserta yang bilang ke pembawa acara supaya ada yang menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Dari situlah kemudian dipilihlah Dolly, yang bahkan Dolly sendiri tidak tahu apa alasan penunjukkannya.
“Mungkin saya kebetulan duduk di barisan terdepan,” ujar Dolly.
Dolly pun menyanyikan lagu itu. Karena tidak ada panggung, Dolly bernyanyi sembari berdiri di atas kuris supaya terlihat oleh seluruh hadirin yang datang.
Saat itulah, lanjut Dolly, untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya diperbolehkan dengan catatan tanpa perkataan:
“Merdeka…Merdeka”. Ancaman represi dari pemerintah kolonial Belanda menyebabkan Supratman harus menggubah lirik asli yang mencantumkan kata “merdeka.”
“Saudara-saudara, lagu ini kita ucapkan dengan perkataan mulia, walau kita tahu sama tahu soal ini,” ujar Supratman sebagaimana diungkapkan Dolly.
Dolly pun menyanyikannya dengan suara keras: “Indones… Indones… mulia… mulia…!”
Dolly melafalkan lirik lagu itu di luar kepala.
Setelah usai, tepuk tangan pun menggemuruh memenuhi gedung yang bersejarah itu.
Dan nama Dolly Salim, sejak saat itu disebut-sebut sebagai pelantun pertama lagu Indonesia Raya.
Sejarah Lagu Indonesia Raya
28 Oktober 1928 malam, di gedung Jl. Kramat Raya 106 Batavia, pemuda Wage Rudolf Supratman (9 Maret 1903 – 17 Agustus 1938) menyebarkan lirik konsep suatu lagu kepada hadirin di sana.
Pada malam penutupan Kongres Pemoeda itu pada Desember 1928, Supratman dengan gesekan biolanya mengiringi sebarisan paduan suara, mengetengahkan lagu ciptaannya berjudul Indonesia Raja.
Dua bulan kemudian ode (lagu pujian perjuangan) tersebut menjadi amat populer, terutama dipelopori anggota Kepanduan Bangsa Indonesia, sebab dalam lirik ode tersebut ada kalimat “jadi pandu ibuku”.
Supratman, putra Sersan KNIL Djoermeno Senen Sastrosoehardjo, di saat itu memang sudah dikenal sebagai komponis, serta wartawan dan penulis muda berbakat.
Berkat pergaulannya cukup luas di kalangan kaum muda, hatinya tergerak untuk menciptakan ode itu, walau kemudian oleh beberapa pengamat, dikatakan lagu Indonesia Raya itu terpengaruh La Marseille – ciptaan Rouget de L’isle (1922).
Lagu ini di zaman Belanda sempat menghebohkan, tahun 1930 Indonesia Raja dilarang dinyanyikan umum, karena dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan.
Supratman diinterogasi dan ditanya mengapa memakai kata “merdeka, merdeka”.
Dia menjawab kata-kata itu diubah pemuda lainnya, sebab lirik aslinya “moelia, moelia”. Protes pun berdatangan, sampai volksraad turun tangan.
Akhirnya lagu Indonesia Raya minus lirik “merdeka, merdeka” boleh dinyanyiakn, asal dalam ruangan tertutup!
Menjelang ujung umurnya, setelah menciptakan lagu Dari Barat Sampai ke Timur, Bendera Kita, Ibu Kita Kartini dan lainnya, Supratman pada 7 Agustus 1938 ditangkap Belanda di Surabaya, gara-gara lagunya Matahari Terbit yang dianggap mengandung “simpati” terhadap Kekaisaran Jepang.
Lagu itu pun dilarang diperdengarkan di muka umum. Tak lama kemudian, W.R. Supratman yang dinyatakan ekstrem ini wafat.
Jepang menduduk Indonesia tahun 1942. Lagu Indonesia Raya segera dilarang dikumandangkan, walau sebelumnya Jepang sempat mengudarakan lagu ini lewat Radio Jepang – untuk mengambil hati “saudara mudanya”.
Tapi setelah merasa kedudukannya goyah, Jepang membentuk Panitia Lagu Kebangsaan pada tahun 1944.
Naskah asli Supratman tahun 1928, kemudian diubah beberapa kata-katanya. Namun, perubahan cukup besar terjadi pada refrain lagu 1928 : Indones’, Indones’ Moelia, Moelia Tanahkoe, negrikoe yang Koetjinta Indones’, Indones’ Moelia Moelia, Hidoeplah Indonesia Raja, menjadi: “Indonesia Raya, Merdeka Merdeka, Tanahku, Negriku yang Kucinta, Indonesia Raya, Merdeka Merdeka, Hiduplah Indonesia Raya” (dalam versi 1944).
Setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia, namun sampai Agustus 1948 belum ada keseragaman, hingga dibentuklah Panitia Indonesia Raya pada 16 November 1948.
Baru pada 26 Juni 1958 keluar peraturan pemerintah tentang lagu Indonesia Raya dalam enam bab khusus yang mengatur tata tertib, sampai keseragaman nada, irama, kata, dan gubahan lagu.
Inilah sekilas “riwayat” lagu Indonesia Raya kita. (Intisari)