Kerajaan Riau mencapai masa keemasannya pada abad ke-18 dan ke-19 di bawah pemerintahan beberapa sultan yang cakap dan berwibawa. Salah satu sultan yang terkenal adalah Sultan Mahmud IV (1835-1857), yang dikenal sebagai sultan yang adil dan bijaksana.
Ia berhasil memperluas wilayah kerajaannya hingga mencakup pulau-pulau seperti Bintan, Lingga, Karimun, Natuna, Anambas, Tambelan, Bangka, Belitung, dan rempang.
Sultan Mahmud IV juga memperbaiki hubungan kerajaannya dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, seperti Palembang, Jambi, Minangkabau, Banjar, dan Pontianak. Ia juga menjalin hubungan baik dengan Belanda, Inggris, Siam, dan Cina.
Ia bahkan mengirim utusan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan membawa pulang beberapa ulama dan sastrawan yang kemudian mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesusastraan di kerajaannya.
Salah satu hasil karya sastra yang terkenal dari Kerajaan Riau adalah Gurindam Dua Belas, sebuah puisi yang berisi nasihat-nasihat moral dan agama yang ditulis oleh Raja Ali Haji, seorang pangeran dan sastrawan yang juga merupakan cucu dari Sultan Mahmud IV.
Gurindam Dua Belas dianggap sebagai salah satu karya sastra Melayu klasik yang paling berpengaruh.
Kerajaan Riau juga dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Nusantara. Banyak ulama dan mubaligh yang berasal dari Kerajaan Riau yang menyebarkan ajaran Islam ke berbagai daerah, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Beberapa ulama yang terkenal adalah Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari, Syekh Nurul Alam al-Makki, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Masa Kemerosotan Kerajaan Riau
Kerajaan Riau mulai mengalami masa kemerosotan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 akibat campur tangan Belanda dan Inggris. Pada tahun 1824, Belanda dan Inggris menandatangani Perjanjian London yang membagi wilayah pengaruh mereka di Nusantara. Menurut perjanjian ini, Belanda mendapatkan wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya, sedangkan Inggris mendapatkan wilayah Semenanjung Malaya dan Singapura.
Perjanjian ini menyebabkan kerajaan Riau terpecah menjadi dua bagian: bagian barat yang tetap berada di bawah kekuasaan Sultan Mahmud IV dan bagian timur yang diberikan kepada adiknya, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah.
Bagian barat kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor-Singapura, sedangkan bagian timur dikenal sebagai Kesultanan Lingga-Riau.
Kesultanan Lingga-Riau kemudian menjadi negara boneka Belanda yang harus tunduk pada kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyatnya. Belanda mengambil alih monopoli perdagangan rempah-rempah, lada, gambir, timah, emas, dan minyak bumi dari Kesultanan Lingga-Riau.
Belanda juga memaksakan pajak-pajak yang tinggi kepada rakyat Kesultanan Lingga-Riau. Selain itu, Belanda juga mengintervensi urusan dalam negeri Kesultanan Lingga-Riau dengan menentukan siapa yang berhak menjadi sultan.
Pada tahun 1900, Belanda memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Lingga-Riau dari Pulau Penyengat ke Pulau Daik di Kepulauan Lingga. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi sultan dari rakyatnya dan memudahkan pengawasan Belanda.
Pada tahun 1911, Belanda menghapuskan Kesultanan Lingga-Riau secara sepihak dengan alasan bahwa sultan tidak mampu menjaga ketertiban dan kesejahteraan rakyatnya. Sultan Abdul Rahman II, sultan terakhir Kesultanan Lingga-Riau, kemudian dibuang ke Sumatra Barat.
Baca Juga: Inilah Beberapa Kerajaan Melayu yang Pernah Berdiri di Riau, Ada Siak
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR