Intisari-online.com -Kerajaan Riau adalah salah satu kerajaan Islam yang pernah berjaya di Nusantara. Kerajaan ini memiliki hubungan erat dengan kerajaan Johor di Semenanjung Malaya, dan pernah menguasai beberapa pulau di Laut Tiongkok Selatan, termasuk Pulau Rempang.Kerajaan Riau muncul dari pecahan kerajaan Johor yang didirikan oleh Sultan Mahmud Syah pada tahun 1528. Sultan Mahmud Syah adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah II, raja pertama kerajaan Aceh.
Setelah ayahnya wafat, Sultan Mahmud Syah menggantikannya sebagai raja Aceh, tetapi kemudian ia digulingkan oleh saudaranya, Sultan Ali Riayat Syah I, pada tahun 1530. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri ke Johor dan mendirikan kerajaannya sendiri.
Kerajaan Johor berkembang pesat di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah dan keturunannya. Kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Kesultanan Ottoman, Portugis, dan Belanda.
Kerajaan ini juga berhasil mempertahankan kedaulatannya dari serangan Aceh, Siam, dan Mataram. Namun, pada akhir abad ke-17, kerajaan Johor mengalami kemunduran akibat perselisihan internal dan campur tangan asing.
Pada tahun 1699, terjadi pemberontakan di Johor yang dipimpin oleh Raja Kecik, seorang keturunan Bugis yang mengaku sebagai anak dari Sultan Abdul Jalil IV, raja Johor yang wafat pada tahun 1690.
Pemberontakan ini didukung oleh Belanda yang ingin menguasai perdagangan di Selat Malaka. Raja Kecik berhasil mengalahkan Sultan Abdul Jalil V, raja Johor yang sah, dan merebut tahta Johor.
Namun, pada tahun 1718, Sultan Abdul Jalil V kembali merebut tahta Johor dengan bantuan Bugis lainnya yang dipimpin oleh Daeng Parani. Raja Kecik kemudian melarikan diri ke Pahang dan mendirikan kerajaannya sendiri.
Pada tahun 1722, ia menyerang Johor lagi dengan bantuan Minangkabau dan Aceh. Namun, ia kembali dikalahkan oleh Sultan Abdul Jalil V dan Daeng Parani.
Sultan Abdul Jalil V kemudian membagi wilayah kerajaannya menjadi dua bagian: bagian barat diberikan kepada Daeng Parani sebagai hadiah atas jasanya, dan bagian timur diberikan kepada putranya sendiri, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Bagian barat meliputi wilayah Semenanjung Malaya dan Singapura, sedangkan bagian timur meliputi wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya.
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah kemudian memindahkan pusat pemerintahan kerajaannya dari Johor Lama ke Pulau Penyengat di Kepulauan Riau pada tahun 1722.
Ia juga mengubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan Riau. Ia memilih Pulau Penyengat karena letaknya yang strategis di tengah-tengah jalur perdagangan antara Selat Malaka dan Laut Tiongkok Selatan.
Masa Keemasan Kerajaan Riau
Kerajaan Riau mencapai masa keemasannya pada abad ke-18 dan ke-19 di bawah pemerintahan beberapa sultan yang cakap dan berwibawa. Salah satu sultan yang terkenal adalah Sultan Mahmud IV (1835-1857), yang dikenal sebagai sultan yang adil dan bijaksana.
Ia berhasil memperluas wilayah kerajaannya hingga mencakup pulau-pulau seperti Bintan, Lingga, Karimun, Natuna, Anambas, Tambelan, Bangka, Belitung, dan rempang.
Sultan Mahmud IV juga memperbaiki hubungan kerajaannya dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, seperti Palembang, Jambi, Minangkabau, Banjar, dan Pontianak. Ia juga menjalin hubungan baik dengan Belanda, Inggris, Siam, dan Cina.
Ia bahkan mengirim utusan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan membawa pulang beberapa ulama dan sastrawan yang kemudian mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesusastraan di kerajaannya.
Salah satu hasil karya sastra yang terkenal dari Kerajaan Riau adalah Gurindam Dua Belas, sebuah puisi yang berisi nasihat-nasihat moral dan agama yang ditulis oleh Raja Ali Haji, seorang pangeran dan sastrawan yang juga merupakan cucu dari Sultan Mahmud IV.
Gurindam Dua Belas dianggap sebagai salah satu karya sastra Melayu klasik yang paling berpengaruh.
Kerajaan Riau juga dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Nusantara. Banyak ulama dan mubaligh yang berasal dari Kerajaan Riau yang menyebarkan ajaran Islam ke berbagai daerah, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Beberapa ulama yang terkenal adalah Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari, Syekh Nurul Alam al-Makki, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Masa Kemerosotan Kerajaan Riau
Kerajaan Riau mulai mengalami masa kemerosotan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 akibat campur tangan Belanda dan Inggris. Pada tahun 1824, Belanda dan Inggris menandatangani Perjanjian London yang membagi wilayah pengaruh mereka di Nusantara. Menurut perjanjian ini, Belanda mendapatkan wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya, sedangkan Inggris mendapatkan wilayah Semenanjung Malaya dan Singapura.
Perjanjian ini menyebabkan kerajaan Riau terpecah menjadi dua bagian: bagian barat yang tetap berada di bawah kekuasaan Sultan Mahmud IV dan bagian timur yang diberikan kepada adiknya, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah.
Bagian barat kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor-Singapura, sedangkan bagian timur dikenal sebagai Kesultanan Lingga-Riau.
Kesultanan Lingga-Riau kemudian menjadi negara boneka Belanda yang harus tunduk pada kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyatnya. Belanda mengambil alih monopoli perdagangan rempah-rempah, lada, gambir, timah, emas, dan minyak bumi dari Kesultanan Lingga-Riau.
Belanda juga memaksakan pajak-pajak yang tinggi kepada rakyat Kesultanan Lingga-Riau. Selain itu, Belanda juga mengintervensi urusan dalam negeri Kesultanan Lingga-Riau dengan menentukan siapa yang berhak menjadi sultan.
Pada tahun 1900, Belanda memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Lingga-Riau dari Pulau Penyengat ke Pulau Daik di Kepulauan Lingga. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi sultan dari rakyatnya dan memudahkan pengawasan Belanda.
Pada tahun 1911, Belanda menghapuskan Kesultanan Lingga-Riau secara sepihak dengan alasan bahwa sultan tidak mampu menjaga ketertiban dan kesejahteraan rakyatnya. Sultan Abdul Rahman II, sultan terakhir Kesultanan Lingga-Riau, kemudian dibuang ke Sumatra Barat.
Baca Juga: Inilah Beberapa Kerajaan Melayu yang Pernah Berdiri di Riau, Ada Siak