Bupati Maluku Tenggara Thaher Hanubun disebut menikahi gadis yang melaporkannya melakukan kekerasan seksual.
Intisari-Online.com -Apa yang dilakukan oleh Bupati Maluku Tenggara M Thaher Hanubun dikecam oleh Komnas Perempuan.
Sebelumnya, Thaher dilaporkan atas kasus dugaan kekerasan seksual terhadap seorang gadis berinisial TSA yang berusia 21 tahun.
Tak lama setelah pelaporan itu, Thaher dilaporkan menikahi gadis tersebut dengan memberinya mahar yang fantastis.
Pernikahan itu sendiri dilakukan di Tual, Maluku, tanpa kehadiran sang gadis, karena dia sekarang berada di Jakarta.
Thaher dilaporkan TSA di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) pada 1 September 2023 kemarin, laporan itu tercatat dengan nomorTBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT.
TSA sendiri adalah seorang karyawan di sebuah kafe.
TSA sudah sempat dimintai keterangan di Polda Maluku dan telah menjalani visum di RS Bhayangkara didampingi UPTD PPA Provinsi Maluku.
Dugaan kekerasan seksual terjadi padaApril 2023.
Pendamping korban, Othe Patty membenarkan adanya pernikahan terduga pelaku dengan korban.
"Iya hari Jumat kemarin," ujar Othe seperti yang diwartakan TribunAmbon.com.
Dalam pernikahan itu, Thaher memberi mahar 1 miliar yang diantar oleh kontraktor sang bupati.
Pernikahan itu berlangsung siri dan dilakukan di Kota Tual, Maluku.
Paman korban pun menjadi wali pernikahan tersebut.
Seperti disebut sebelumnya, TSAsendiri tak berada di lokasi saat pernikahan berlangsung, melainkan di Jakarta.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengecam cara terduga Thaher, terlapor dugaan kekerasan seksual, menikahi korban.
Menurutnya, itumerupakan modus pelaku melarikan diri dari tanggung jawab secara hukum.
"Modus kawin atau pernikahan seringkali ditemukan sebagai cara terlapor melarikan diri dari tanggung jawab secara hukum," ungkapnya.
Modus seperti itu sangat dikenali.
Bahkan, dalam UU PTSK pasal 10 secara tertulis menegaskan, gelagat ini sebagai bagian dari tindak pemaksaan perkawinan.
Ia menambahkan, jika kepolisian tak menemukan ada indikasi yang kuat untuk menghindari proses hukum, pihak berwajib bisa menggunakan pasal pemaksaan perkawinan tersebut.
“Terdapat pasal pemaksaan perkawinan dalam UU TPSK. Jika ada indikasi, kepolisian bisa menggunakan pasal itu. Apalagi tindak pemaksaan bukan delik aduan,” lanjutnya.
Pihaknya pun mendorong kepolisian untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh serta melihat adanya kemungkinan pemaksaan perkawinan.
“Kita mendorong kepolisian memeriksa laporan pertama dan melihat upaya pemaksaan perkawinan. Jika ada, harus diperiksa lebih lanjut,” pungkasnya.
Kabid Humas Polda Maluku, Roem Ohoirat mengatakan, pihaknya telah menerima surat penarikan laporan pada Rabu (6/9/2023), kurang dari sepekan setelah laporan dilayangkan pada Jumat (1/9/2023) lalu.
"Hari Rabu (5/9/2023) penyidik menerima surat dari pelapor yang isinya pelapor menarik kembali laporannya dan tidak menghendaki proses lebih lanjut dengan alasan menerima kenyataan ini sebagai musibah dan ingin ketenangan," katanya.
Meski laporan dicabut, pihak kepolisian tetap melanjutkan proses hukum karena TPKS tak bisa diselesaikan di luar pengadilan.
Namun, Roem mengaku, pihaknya banyak mengalami kendala dari pelapor.
"Sejak kasus ini dilaporkan, setiap hari penyidik mendatangi kediaman pelapor untuk melakukan pendampingan, namun pernah ditolak oleh orangtua pelapor dengan alasan pelapor ingin ketenangan," katanya.
Pihak kepolisian bahkan tak mengetahui di mana keberadaan keluarga dan korban.
"Hari Sabtu (9/9/2023) penyidik mendatangi kediaman pelapor, namun pelapor dan orang tua pelapor sudah tidak ada, keterangan dari salah satu keluarga yang menjaga rumah tersebut bahwa pelapor dan kedua orangtuanya sudah ke Jawa," tandasnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mendesak kasus ini bisa diusut tuntas.
Karena dalam UU TPKS, kekerasan seksual merupakan murni tindakan pidana dan tidak mengenal istilah restorative justice.
Pihaknya juga mengapresiasi kinerja polisi karena masih melanjutkan penanganan karena TPKS tak bisa diselesaikan di luar pengadilan.
"Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak mengenal istilah restorative justice sehingga dalam kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh pelaku sebagai pejabat publik di Maluku Tenggara, adalah murni tindakan pidana," tegas Bintang, dikutip dari laman Kementerian PPPA.
Ia menambahkan, dalam UU TPKS, tak memungkinkan adanya proses damai.
"UU TPKS tidak memungkinkan adanya upaya proses damai yang ditawarkan oleh pelaku. Kami mendukung penuh atas kebijakan Polda Maluku yang tetap melanjutkan penyidikan terhadap pelaku. Jika saat ini ada informasi tentang pencabutan laporan oleh korban kami berharap agar penyidikan bisa tetap dilanjutkan karena aparat polisi sudah memiliki bukti pemeriksaan sebelumnya," ucap Bintang.
Ia menambahkan, UU TPKS ada sebagai bukti bahwa negara serius dalam melindungi korban kekerasan seksual.
"UU TPKS hadir sebagai bukti negara serius melindungi para korban kekerasan seksual khususnya kelompok rentan perempuan dan anak-anak. Ancaman pidana UU TPKS terhadap pelaku sudah tepat," tegas dia.
Sebelumnya viral di media sosial seorang perempuan berusia 21 tahun melaporkan Bupati Maluku Tenggara M Thaher Hanubun ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Maluku pada Jumat, 1 September 2023 lalu.
Kabar pernikahan antara korban dengan terduga pelaku tersebut pun mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Satu di antaranya komunitas pemerhati perempuan, Ina Mollucas Watch (IMW).
Pihak IMW mengaku geram terkait kabar Thaher Hanubun menikahi korban pelecehan seksual.
Ketua Bidang Advokasi IMW, Hijrah mengatakan, jika kabar pernikahan tersebut benar, maka publik akan merasa kinerja polisi gagal dalam memberikan perlindungan kepada korban.
Padahal, perlindungan korban kekerasan seksual sudah tertulis dalam Pasal 42 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Informasi ini harus segera diklarifikasi kebenarannya oleh pihak Polda Maluku. Dimana saat ini keberadaan korban? Apakah benar korban berada dibawah kendali orang-orang yang punya keterkaitan dengan terduga pelaku? Apakah ada tindakan-tindakan yang menghambat proses hukum?," kata Hijrah seperti yang diberitakan TribunAmbon.com.
Pihaknya juga mempertanyakan kinerja Kapolda Maluku dalam menegakkan UU TPKS dari sisi perlindungan korban.
“Apakah ada main mata dan membiarkan korban dibawah kendali pihak lain?” tanya Hijrah.
Ia menambahkan, jika kepolisian tidak mampu melindungi korban, maka pihak kepolisian wajib mengajukan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Sehingga disini kami sedang mengukur kualitas penanganan institusi Polda Maluku dalam menyelidiki kasus ini sesuai ketentuan pasal-pasal yang ada, apakah polisi sebagai penegak hukum takluk dan tunduk ketika menghadapi posisi terduga pelaku yang memiliki jaringan kekuatan dan kekuasaan? Ini harus segera terjawab," tandasnya.