Sekonyong-konyong kami mendengar rentetan tembakan singkat senjata ringan dari arah utara. Saya bertanya kepada bintara yang sedang bertugas di ruang piket, kira-kira tembakan apa itu.
Bintara menjawab, bahwa kedengarannya seperti dari arah markas artileri di Jalan Mangunsarkoro.
Tak lama kemudian datang berlari-lari beberapa prajurit berpakaian lengkap PDL-T (dengan topi baja dan “pakaian kuda”), tetapi mereka tidak membawa senjata.
Mereka langsung masuk ke kamar piket. Karena berada di luar ruangan, saya tidak mendengar apa yang mereka laporkan.
Tetapi beberapa saat kemudian, bintara Polisi Militer yagn bertugas itu berlari keluar dan masuk ke dalam gedung kemudian keluar lagi diiringi oleh beberapa bintara lain.
Kedengaran ribut sekali di ruang piket. Saya mendengar seorang berteriak, “Lebih baik kamu mati daripada mengawal sampai kebobolan!”
Kemudian mereka semua berlari keluar, meloncat ke dalam jeep yang sudah selalu tersedia, lalu pergi melintasi jembatan “Banjir kanal”.
Saya kemudian masuk ke ruang piket dan bertanya kepada seorang bintara tinggi yang bertugas di sana, apa yang telah terjadi.
Ia menerangkan bahwa rumah Pak Yani diserbu oleh suatu gerombolan bersenjata yang berseragam macam-macam.
Ada yang berseragam Cakrabirawa, ada yang berseragam loreng, ada yang berseragam hijau tanpa tanda pengenal apapun, dan ada pula yang berpakaian preman.
Kendaraannya pun bermacam-macam, ada kendaraan Cakrabirawa, ada pula bis yang berwarna putih.
Mereka melakukan pendadakan terhadap pengawal, melucutinya lalu menyerbu ke dalam rumah.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR