Sosok Pahlawan Trikora Ini Malah Jadi Tokoh Kunci G30SPKI Hingga Dijatuhi Hukuman Mati

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Letnan Untung merupakan tokoh kunci G30SPKI yang dijatuhi hukuman mati.
Letnan Untung merupakan tokoh kunci G30SPKI yang dijatuhi hukuman mati.

Intisari-online.com - Letnan Kolonel Untung Syamsuri adalah seorang perwira militer Indonesia yang dikenal sebagai pemimpin Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang berusaha menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno.

Ia juga menjadi komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal khusus Presiden Soekarno.

Namun, di balik perannya dalam G30S, siapakah sebenarnya sosok Letnan Untung? Bagaimana latar belakang dan nasibnya setelah peristiwa tersebut?

Masa Kecil dan Karier Militer

Letnan Untung lahir dengan nama Kusman di Desa Sruni, Kedung Bajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926.

Ayahnya bernama Abdullah, seorang penjaga toko bahan batik di Pasar Kliwon, Solo.

Ibunya bernama Siti Aminah, seorang ibu rumah tangga.

Ketika berusia 10 tahun, orang tuanya bercerai dan ia pindah ke Solo untuk diasuh oleh pamannya yang bernama Samsuri.

Sejak itu, ia lebih dikenal dengan nama Untung bin Samsuri.

Untung menempuh pendidikan dasar di Ketelan, Solo dan kemudian melanjutkan ke sekolah dagang.

Namun, ia tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena Jepang mendarat dan menguasai Indonesia pada tahun 1942.

Baca Juga: Weton Rabu Pon, Syarat Presiden 2024 Menurut Ramalan Gus Dur

Untung kemudian bergabung dengan organisasi militer Heiho yang dibentuk oleh Jepang untuk membantu perang mereka melawan Sekutu.

Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Untung bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Untung tergolong sebagai perwira militer yang cerdas dan berprestasi.

Ia pernah bertugas di berbagai daerah seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian.

Ia juga mendapat penghargaan Bintang Sakti atas jasanya dalam Operasi Trikora yang bertujuan untuk merebut Irian Barat dari Belanda pada tahun 1961-1962.

Pada tahun 1964, ia dipindahkan ke Jakarta dan ditunjuk sebagai komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa.

Peran dalam G30S

Sebagai komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, Untung memiliki akses langsung ke Presiden Soekarno dan lingkaran kekuasaannya.

Ia juga memiliki hubungan baik dengan beberapa tokoh politik dan militer yang berhaluan kiri, seperti Aidit (ketua Partai Komunis Indonesia), Chaerul Saleh (wakil perdana menteri), dan Pranoto Reksosamudro (panglima Mandala).

Menurut beberapa sumber, mereka-lah yang mempengaruhi Untung untuk terlibat dalam G30S.

G30S adalah sebuah gerakan yang dilakukan oleh sekelompok perwira militer yang tidak puas dengan kondisi politik dan ekonomi Indonesia pada saat itu.

Baca Juga: Seputar Peristiwa Gerakan 30 September 1965, Kisah Sukitkan, Sosok Polisi Yang Lolos dari Lubang Buaya

Mereka merencanakan untuk menculik dan membunuh enam jenderal TNI Angkatan Darat yang dianggap sebagai "Dewan Jenderal" yang hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.

Mereka juga berencana untuk membentuk sebuah Dewan Revolusi yang akan mengambil alih pemerintahan.

Untung menjadi pemimpin lapangan dari gerakan tersebut.

Ia menunjuk Letnan Satu Dul Arief sebagai ketua pelaksana penculikan para jenderal.

Pada malam tanggal 30 September 1965, pasukan Cakrabirawa bersama dengan anggota Gerwani (sayap perempuan PKI) dan Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) berhasil menculik lima jenderal (yaitu Ahmad Yani, Suprapto, MT Haryono, Sutoyo Siswomiharjo, dan DI Panjaitan) dan satu perwira menengah (yaitu Pierre Tendean) dari rumah mereka.

Mereka kemudian membawa para korban ke Lubang Buaya, sebuah tempat latihan militer di Pondok Gede, Jakarta Timur.

Di sana, para korban disiksa dan dibunuh dengan cara yang sadis. Jasad mereka kemudian dimasukkan ke dalam sumur tua.

Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, Untung mengumumkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) bahwa ia telah melakukan "gerakan pembersihan" terhadap "Dewan Jenderal" yang berencana melakukan kudeta.

Ia juga mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi yang terdiri dari 45 orang, termasuk dirinya sendiri.

Kemudian mengklaim bahwa gerakannya didukung oleh Presiden Soekarno dan Panglima TNI Angkatan Udara Omar Dani.

Namun, gerakan Untung tidak mendapat dukungan dari mayoritas anggota TNI dan rakyat Indonesia.

Baca Juga: Mitos dan Fakta tentang Presiden 2024 dalam Ramalan Sabdopalon, Siapa Presiden Berdarah Majapahit?

Sebaliknya, gerakan tersebut mendapat perlawanan keras dari Mayor Jenderal Suharto, komandan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) yang berhasil mengamankan Presiden Soekarno dan mengambil alih kendali militer.

Suharto kemudian menumpas sisa-sisa pasukan G30S dan mengepung markas Cakrabirawa di Halim Perdanakusuma.

Untung dan beberapa rekannya berhasil melarikan diri ke hutan di Bogor, namun akhirnya ditangkap pada tanggal 3 Oktober 1965.

Nasib Setelah G30S

Setelah ditangkap, Untung diadili oleh Pengadilan Militer Luar Biasa (Mahmillub) yang dibentuk oleh Suharto untuk menghukum para pelaku G30S.

Dalam persidangan, Untung mengaku bertanggung jawab atas gerakannya dan membantah keterlibatan PKI dalam G30S.

Ia juga mengaku bahwa ia hanya ingin menyelamatkan Presiden Soekarno dari ancaman kudeta.

Namun, pengadilan tidak mempercayai pengakuannya dan menilai bahwa ia telah melakukan makar, pembunuhan, dan pengkhianatan terhadap negara.

Pada tanggal 12 Maret 1966, Untung dijatuhi hukuman mati oleh tembak.

Sebelum menjalani hukuman mati, Untung sempat menulis surat wasiat kepada istrinya yang bernama Siti Aminah binti Abdul Karim.

Dalam surat tersebut, ia menyatakan bahwa ia tidak menyesali perbuatannya dan berharap agar istrinya tetap setia dan menjaga anak-anaknya.

Ia juga meminta maaf kepada Presiden Soekarno atas kegagalannya dalam melindungi beliau.

Pada tanggal 21 Oktober 1968, Untung dieksekusi mati oleh regu tembak di Pulau Buru, Maluku.

Jenazahnya dikuburkan di sana tanpa tanda pengenal. Hingga saat ini, lokasi kuburan Untung masih menjadi misteri.

Letnan Untung adalah seorang perwira militer Indonesia yang dikenal sebagai pemimpin G30S yang berusaha menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1965.

Ia juga merupakan komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal khusus Presiden Soekarno.

Memiliki latar belakang militer yang cemerlang dan pernah mendapat penghargaan Bintang Sakti atas jasanya dalam Operasi Trikora.

Namun, ia juga terlibat dalam peristiwa pembunuhan enam jenderal TNI Angkatan Darat yang dianggap sebagai "Dewan Jenderal" yang hendak melakukan kudeta.

Akibat perbuatannya itu, ia dihukum mati oleh tembak pada tahun 1968.

Artikel Terkait