Apa Kerajaan Islam Pertama Di Aceh, Kerajaan Perlak Atau Kerajaan Samudera Pasai?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Monumen Kerajaan Samudera Pasai yang disebut sebagai kerajaan Islam pertama di Aceh. Tapi pendapat lain, Kerajaan Perlak lebih tua.
Monumen Kerajaan Samudera Pasai yang disebut sebagai kerajaan Islam pertama di Aceh. Tapi pendapat lain, Kerajaan Perlak lebih tua.

Monumen Kerajaan Samudera Pasai yang disebut sebagai kerajaan Islam pertama di Aceh. Tapi pendapat lain, Kerajaan Perlak lebih tua.

Intisari-Online.com -Muncul perbedaan pendapat terkait mana yang berhak menyandang status kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara.

Sebagian ada yang bilang, Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertamd di Aceh, sebagian yang lain bilang Kerajaan Samudara Pasai.

Kerajaan Perlak

Kerajaan Perlak disebut sebagai kerajaan Islam yang berada di Aceh Timur yang sudah berdiri antara abad ke-9 hingga abad ke-13.

Persisnyatahun 840-1292 M.

Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah.

Kerajaan Perlak disebut sebagai kerajaan Islam tertua di nusantara, bahkan Asia Tenggara.

Meski begitu, banyak peneliti yang meragukannya karena bukti keberadaan Kerajaan Perlak sangat terbatas.

Karena itulah KerajaanSamudera Pasai sering dianggap sebagai kerajaan Islam di nusantara.

Hal ini lantaran adanya banyak bukti yang meyakinkan hipotesis tersebut.

Masa kejayaan Kerajaan Perlak berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin II, yang berkuasa antara 1230-1267 M.

Di bawah kekuasaannya, Perlak mengalami kemajuan pesat, terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah.

Sejarah berdirinya Kerajaan Perlak berawal ketika rombongan dakwah yang disebut Nakhoda Khalifah dari Mekkah datang ke Perlak pada 800 M untuk berdagang dan menyebarkan Islam.

Salah satu anggota rombongan tersebut adalah Sayid Ali Al-Muktabar bin Muhammad Diba'i bin Imam Ja'far Al-Shadiq.

Dengan cara dakwah yang menarik, mereka berhasil mengislamkan penduduk setempat.

Selain itu, sebagian rombongan mulai menikah dengan penduduk lokal, termasuk Sayid Ali Al-Muktabar.

Pernikahan Sayid Ali Al-Muktabar dengan Putri Tansyir Dewi dianugerahi putra bernama Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah.

Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah inilah yang ketika dewasa mendirikan Kerajaan Perlak.

Setelah Kerajaan Perlak berdiri, semakin banyak orang Arabdari kalangan Syiah dan Sunni yang datang untuk berdagang.

Kedua aliran ini bahkan terus menyebarkan pengaruhnya hingga timbul perlawanan terbuka pada masa pemerintahan Sultan Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (915-918 M).

Peperangan antara dua aliran ini terus berlangsung hingga akhirnya dapat diredam setelah dibuat perjanjian damai yang disebut dengan Perjanjian Alue Meuh.

Perjanjian tersebut mengatur pembagian Kerajaan Perlak menjadi dua, yakni:

1. Perlak Baroh (Syiah) yang berpusat di Bandar Khalifah dengan wilayah dipesisir.

2. Perlak Tunong (Sunni) dengan wilayah di pedalaman.

Kendati demikian, Islam Syiah tidak berkembang karena Perlak Baroh dihancurkan oleh Kerajaan Sriwijaya.

Kondisi inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak.

Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat akhirnya ditetapkan sebagai Sultan ke-8 Perlak dan melanjutkan perlawanan terhadap Sriwijaya hingga 1006 M.

Kerajaan Perlak terkenal sebagai penghasil kayu Perlak, kayu berkualitas tinggi untuk bahan pembuatan kapal.

Hasil alamnya ini yang menarik para pedagang dari Gujarat, Arab, dan India untuk datang hingga membuat Kerajaan Perlak berkembang menjadi bandar niaga yang maju.

Kondisi ini juga mendorong perkawinan antara para saudagar muslim dengan penduduk setempat, yang akhirnya membuat Perlak menjadi pusat penyebaran Islam di nusantara.

Kerajaan Perlak kemudian mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin II (1230-1267 M).

Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat, terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah.

Kemunduran Kerajaan Perlak Ketika masih berkuasa, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin II mengawinkan putrinya, Putri Ganggang Sari dengan raja Kerajaan Samudera Pasai, Malik Al-Saleh.

Kesultanan Perlak berakhir setelah rajanya yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat wafat pada 1292 M. Sejak saat itu, Kerajaan Perlak bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai.

Kerajaan Samudera Pasai

Jika bukti-bukti terkait Kerajaan Perlak susah ditemukan, berbeda dengan bukti-bukti Kerajaan Samudera Pasai.

Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang berada di Lhokseumawe, Aceh Utara.

Kemunculan kerajaan tersebut berawal dari datangnya pedagang Islam dari India, Arab dan Persia ke Nusantara.

Setelah singgah sekian lama, para pedagang Islam tersebut menikah, memiliki keturunan, dan menetap hingga membangun kerajaan bernama Samudera Pasai.

Wilayah kerajaan ini menjadi wilayah yang pertama kali dikunjungi para pedagang dan pelayar.

Sebab letaknya berada di jalur perdagangan internasional, yakni pesisir utara Sumatera, tepatnya Kota Lhokseumawe, Aceh. Kerajaan Samudera Pasai awalnya digagas oleh Nazimuddin al-Kamil.

Lalu, kerajaan ini didirikan pada 1267 Masehi oleh Sultan Malik al-Saleh atau Marah Silu (Meurah Silu).

Pendiri Kerajaan Samudera Pasai ini sekaligus menjadi raja pertama.

Terpilihnya Meurah Silu sebagai penguasa Pasai karena titah Kesultanan Mamluk di Kairo.

Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik as-Saleh atau Sultan Malikussaleh.

Dia menjadi sultan Samudera Pasai periode 1267-1297 Masehi.

Setelah wafat, pemerintahannya digantikan oleh sang putra, yaitu Sultan Malik az-Zahir dari hasil perkawinan Meurah Silu dengan Putri Raja Perlak.

Masa kejayaan Samudera Pasai terjadi pada kepemimpinan Sultan al-Malik Zahir II.

Dalam kepemimpinannya, Wilayah Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan.

Sehingga banyak saudagar dari penjuru dunia, seperti India, Siam, Arab hingga Cina datang untuk berniaga ke Pasai.

Lintas perdagangan di Pasai yang berkembang pesat saat itu juga membuat Kesultanan Samudera Pasai merilis mata uang emas yang disebut dirham untuk digunakan secara resmi.

Selain menjadi kawasan tersibuk, Kerajaan Samudera Pasai juga menjadi tempat dakwah penyebaran agama Islam, sekaligus pusat perkembangannya.

Walau sempat mendapat serangan dari Kerajaan Majapahit, Samudera Pasai mampu meraih kembali masa keemasannya pada pemerintahan Sultan Malikah Nahrasiyah.

Pada masa kejayaannya, Samudera Pasai menjadi salah satu pusat perdagangan yang cukup penting di Asia.

Letaknya yang strategis membuat wilayah kerajaan ini sering dikunjungi para saudagar dari berbagai negara, seperti Cina, India, Siam, Arab, dan Persia.

Kerajaan Samudera Pasai berdiri dari abad ke-13 hingga 16 Masehi, atau sekitar 3 abad hingga akhirnya runtuh akibat serangan Portugis.

Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin akhirnya ditaklukkan Portugis pada 1521.

Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh Sultan Ali Mughayat Syah, raja Kerajaan Aceh Darussalam untuk mengambil alih Samudera Pasai.

Pada 1524, Kerajaan Samudra Pasai masuk dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam.

Dibuktikan dengan dipindahkannya Lonceng Cakra Donya milik Samudera Pasai ke Kerajaan Aceh Darussalam.

Jejak peninggalan Kesultanan Samudera Pasai diketahui lewat penemuan makam raja-raja Pasai di Kampung Geudong, Aceh Utara.

Area makam itu berada tidak jauh dari reruntuhan bangunan Kesultanan Samudera Pasai yang persisnya berlokasi di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Lhokseumawe.

Dari deretan makam para raja, ada makam atas nama Sultan Malik al-Saleh, raja pertama sekaligus pendiri Samudera Pasai.

Ada juga makam Sultan Malik az-Zahir, Teungku Peuet Ploh, hingga Ratu Al-Aqla.

Selain pemakaman, Kerajaan Samudera Pasai juga memiliki peninggalan, berupa lonceng Cakra Donya, dirham, Naskah Surat Sultan Zainal Abidin, stempel khas kerajaan, buku Tasawuf, hingga karya tulis Hikayat Raja Pasai.

Artikel Terkait