Tirto Adhi Soerjo tak hanya dikenal sebagai bapak pers Indonesia, dia juga gurunya para aktivis pada zaman pergerakan.
Intisari-Online.com -Tak hanya dikenal sebagai bapak pers nasional, dia juga gurunya para aktivis Zaman Pergerakan Nasional.
Dialah Tirto Adhi Soerjo adalah, pendiri surat kabar Medan Prijaji sekaligus pendiri Sarikat Dagang Islam (SDI)--yang kelak bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI).
Nama Tirto begitu mentereng di awal abad 20, tapi sayang akhir hayatnya begitu getir.
Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 1880.
Dia adalah cucu dari Bupati Bojonegoro, RM Tirtonoto.
Tirto melepas status bangsawannya saat masuk ke sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta pada 1894.
Dia bertahan di STOVIA hanya selama enam tahun, karena Tirto lebih aktif menulis untuk surat kabar.
Pada 1903, Tirto mendirikan surat kabar pertamanya bernama, Soenda Berita, di Cianjur, Jawa Barat.
Setelah Soenda Berita, Tirto menerbitkan surat kabar Medan Prijaji, yang dianggap sebagai koran pertama berbahasa Melayu yang dikelola oleh pribumi secara sepenuhnya.
Tak hanya itu, Tirto juga aktif dalam dunia politik.
Dia mendirikan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam, sebuah gerakan politik yang begitu moncer ketika dipegang HOS Tjokroaminoto.
Medan Prijaji disebut sebagai surat kabar pertama yang diterbitkan menggunakan bahasa Melayu dan dijalankan oleh pribumi.
Tak hanya Medan Prijaji, pada 1909 Tirto juga mendirikan perusahaan penerbitan pertama di Indonesia yang diberi nama N.V Javaansche Boekhandelen Drukkerij “Medan Priyayi”.
Ini dilakukannya bersama dengan Haji Mohammad Arsjad dan Pangeran Oesman.
Selain Soenda Berita dan Medan Prijaji, Tirto juga berperan aktif di berbagai media lain, baik menjadi penulis maupun pemimpin.
Misalnya di Pembrita Betawi, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara B.O.W, Soeara Spoor dan Tram, dan Soeraaurna.
Menurut Tirto, pers memiliki tugas yang mulia.
Pers harus memajukan dan memahami hak-hak juga martabat rakyat.
Dia juga menganggap pers bisa menjadi sarana menyadarkan masyarakat dalam menjawab beragam persoalan yang muncul di masyarakat.
Namun sayangnya Medan Prijaji yang berkantor di Bandung ini tak bertahan lama.
Pada 1912 mingguan ini berhenti diterbitkan.
Tirto merupakan orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum.
Dia berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
Kritik atau kecaman kepada pemerintah kolonial Belana itu ia kemas dalam bentuk cerita pendek.
Tak hanya menjadi jurnalis, Tirto juga merupakan seorang perumus gagasan dan pengarang karya-karya nonfiksi.
Atas hasil karya dan perjuangannya dalam dunia jurnalistik Indonesia, ia pun kemudian ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional oleh Dewan Pers RI pada tahun 1973.
Tak hanya sebagai Bapak Pers Nasional, Tirto juga dikenal sebagai Tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia, dan perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia.
Tirto menjadi orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum.
Dalam tulisan-tulisan yang dibuat, Tirto termasuk berani menuliskan kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Oleh sebab itu, Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa ke Pulau Bacan, Maluku Utara.
Setelah usai dari masa pembuangannya, tahun 1914, Tirto bangkrut dan dijauhi teman-temannya.
Tirto pun tinggal di hotel miliknya zaman dulu, Hotel Medan Prijaji di Kramat, Jakarta.
Dia kemudian wafat di dalam kamar hotelnya pada 7 Desember 1918 karena disentri.
Pada saat jasadnya dikebumikan, hanya satu temannya yang menghadiri pemakaman tersebut, yaitu Goenawan.