Peristiwa Berdirinya Kabupaten Wonosobo di Bawan Kesultanan Yogyakarta, Akibat Pertempuran dengan Pangeran Diponegoro

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Peristiwa berdirinya kabupaten Wonosobo di bawah Kesultanan Yogyakarta.
Peristiwa berdirinya kabupaten Wonosobo di bawah Kesultanan Yogyakarta.

Intisari-online.com - Wonosobo adalah sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Kabupaten ini memiliki sejarah yang panjang dan menarik, terutama dalam kaitannya dengan Perang Diponegoro, salah satu perang besar yang terjadi antara rakyat Jawa melawan penjajah Belanda pada tahun 1825-1830.

Perang Diponegoro dipicu oleh kekecewaan Pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengkubuwono III dari Kesultanan Yogyakarta, terhadap kebijakan Belanda yang merampas tanah-tanah keraton dan rakyat untuk dijadikan perkebunan dan jalan raya.

Diponegoro kemudian memimpin perlawanan bersenjata melawan Belanda dengan dukungan dari para ulama, bangsawan, dan rakyat biasa.

Salah satu wilayah yang menjadi basis pertahanan pasukan Diponegoro adalah Wonosobo.

Wilayah ini dipilih karena memiliki kondisi geografis yang strategis, yaitu berada di dataran tinggi yang dikelilingi oleh gunung-gunung.

Selain itu, Wonosobo juga memiliki tokoh-tokoh yang berani dan setia kepada Diponegoro, seperti Tumenggung Setjonegoro, Tumenggung Kartosinuwun, dan Gajah Permodo.

Tumenggung Setjonegoro adalah bupati pertama Kabupaten Wonosobo.

Ia adalah cucu dari Kiai Karim, salah satu dari tiga pengembara Islam yang masuk ke wilayah Wonosobo pada abad ke-17.

Ia mendapat gelar Tumenggung Jogonegoro dari Keraton Mataram setelah membuka permukiman di Selomerto.

Kemudian mengubah gelarnya menjadi Tumenggung Setjonegoro setelah membantu Diponegoro dalam perang melawan Belanda.

Baca Juga: Kehidupan Sosial Kerajaan Mataram Kuno, Terbagi dalam 4 Kasta

Tumenggung Setjonegoro juga berperan penting dalam memindahkan pusat kekuasaan Kabupaten Wonosobo dari Selomerto ke Wonosobo pada tanggal 24 Juli 1825.

Pemindahan ini dilakukan untuk menghindari serangan Belanda yang semakin gencar.

Tanggal ini kemudian menjadi hari jadi Kabupaten Wonosobo.

Tumenggung Kartosinuwun adalah seorang ulama yang juga menjadi panglima perang pasukan Diponegoro.

Ia dikenal dengan nama Imam Misbach atau Kyai Misbach.

Memiliki kemampuan spiritual yang tinggi dan mampu mengobati luka-luka para pejuang dengan air doa.

Ia juga memiliki strategi perang yang cerdik dan berhasil mengalahkan pasukan Belanda dalam beberapa pertempuran.

Gajah Permodo adalah seorang pejuang yang berasal dari Desa Kertek, Wonosobo.

Juga memiliki tubuh yang besar dan kuat seperti gajah, sehingga mendapat julukan Gajah Permodo.

Ia juga memiliki senjata andalan berupa tombak panjang yang disebut tombak sodo lanang.

Ia sangat loyal kepada Diponegoro dan selalu berada di garis depan dalam setiap pertempuran.

Baca Juga: Peristiwa Agresi Militer Belanda I, Serangan Serentak ke Seluruh Wilayah RI

Peristiwa tersebut menjadi salah satu pertempuran besar yang terjadi antara pasukan Diponegoro dan Belanda di wilayah Wonosobo pada tahun 1827.

Pertempuran ini dipimpin oleh Tumenggung Kartosinuwun dan Gajah Permodo dari pihak Diponegoro, serta Mayor De Stuers dan Kapten De Kock dari pihak Belanda.

Pertempuran ini berlangsung selama tiga hari dan tiga malam dengan sengit.

Pasukan Diponegoro berhasil menguasai benteng-benteng Belanda di Bedirinta dan membunuh banyak tentara Belanda.

Namun, pasukan Belanda juga tidak menyerah begitu saja dan melakukan serangan balasan dengan bantuan pasukan dari Magelang dan Temanggung.

Akhirnya, pertempuran ini berakhir dengan kemenangan tipis bagi pasukan Belanda.

Pasukan Diponegoro terpaksa mundur karena kehabisan amunisi dan logistik.

Namun, mereka tetap berjuang dengan gigih hingga akhir perang.

Artikel Terkait