Status kepemilikan Cepuri Parangkusumo di bawah Keraton Yogyakarta.
Bangunan ini sendiri telah ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya milik DIY.
Menurut cerita tutur, Cepuri Parangkusumo menjadi bukti jejak keberadaan Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati di Parangtritis, serta sejarah pendirian Kerajaan Mataram Islam.
Catatan sejarah asal-usul Cepuri Parangkusumo berawal dari Petilasan Parangkusumo yang disebutkan dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha.
Kedua sumber tertulis ini menceritakan soal ambisi Panembahan Senopati menjadi penguasa Jawa.
Dia kemudian bersemedi di pinggir Laut Selatan, memohon kepada Sang Pencipta untuk mendapatkan petunjuk.
Tempat itulah yang kemudian dikenal sebagai Petilasan Parangkusumo, berwujud dua gundukan batu di pinggir pantai yang kemudian dinamakan Selo Ageng dan Selo Sengker.
Masyarakat setempat meyakini, kedua gundukan batu itulah menjadi salah satu penanda penting bagi kesepakatan antara Senopati atau raja-raja Mataram dan Ratu Kidul dalam hal kelangsungan hidup Keraton Mataram.
Upacara Labuhan Parangkusumo oleh Keraton Yogyakarta juga diadakan karena "dua batu gilang" tersebut.
Upacara Labuhan Parangkusumo merupakan Hajad Dalem Keraton Yogyakarta yang dihelat di Pantai Parangkusumo.
Ritual ini digelar sekali dalam setahun ketika peringatan penobatan Sultan.
Dilansir dari laman budaya.jogjaprov.go.id, budaya.jogjaprov.go.id labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung atau membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut).
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR