Dua batu gilang di Cepuri Parangkusumo disebut sebagai saksi pertemuan pendiri Mataram Islam, Panembahan Senopati, dan Nyi Roro Kidul.
Intisari-Online.com -Mitos seputar Cepuri Parangkusumo tak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam.
Konon di tempat yang berada di bibir pantai Laut Selatan itulah pendiri Mataram Islam, Panembahan Senopati, bertemu dengan penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul.
Lokasi Cepuri Parangkusumo sekarang masuk wilayah Mancingan, Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengacu pada publikasiJogjacagar.jogjaprov.go.id, Cepuri Parangkusumo merupakan bangunan yang dikelilingi para berwarna putih.
Ada dua gundukan batu di dalamnya, dikenal sebagai Watu Gilang.
Batu yang lebih besar diberi nama Selo Ageng, sementara batu yang lebih kecil disebut Selo Sengker.
Selo Ageng adalah batu andesit berukuran 180 cm x 210 cm x 56 cm, sedangkan Selo Sengker adalah batu andesit berukuran 130 cm x 60 cm x 33 cm.
Dua batu tersebut disebut pernah menjadi tempatduduk Panembahan Senopati dan tempat duduk Nyi Roro Kidul.
Pada tahun 1991, Dinas Pariwisata Provinsi DIY membangun pagar mengelilingi Watu Gilang.
Pagar tersebut dibangun dengan ukuran 16,4 m x 13,22 m serta tinggi 1,27 m dan tebal 0,25 m.
Tak lupa ada gapura yang menghadap ke arah selatan sebagai pintu masuk.
Status kepemilikan Cepuri Parangkusumo di bawah Keraton Yogyakarta.
Bangunan ini sendiri telah ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya milik DIY.
Menurut cerita tutur, Cepuri Parangkusumo menjadi buktijejak keberadaan Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati di Parangtritis, serta sejarah pendirian Kerajaan Mataram Islam.
Catatan sejarah asal-usul Cepuri Parangkusumo berawal dari Petilasan Parangkusumo yang disebutkan dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha.
Kedua sumber tertulis ini menceritakan soal ambisi Panembahan Senopati menjadi penguasa Jawa.
Dia kemudian bersemedi di pinggir Laut Selatan, memohon kepada Sang Pencipta untuk mendapatkan petunjuk.
Tempat itulah yang kemudian dikenal sebagai Petilasan Parangkusumo, berwujud dua gundukan batu di pinggir pantai yang kemudian dinamakan Selo Ageng dan Selo Sengker.
Masyarakat setempat meyakini, kedua gundukan batu itulah menjadi salah satu penanda penting bagi kesepakatan antara Senopati atau raja-raja Mataram dan Ratu Kidul dalam hal kelangsungan hidup Keraton Mataram.
Upacara Labuhan Parangkusumo oleh Keraton Yogyakarta juga diadakan karena "dua batu gilang" tersebut.
Upacara Labuhan Parangkusumo merupakan Hajad Dalem Keraton Yogyakarta yang dihelat di Pantai Parangkusumo.
Ritual ini digelar sekali dalam setahun ketika peringatan penobatan Sultan.
Dilansir dari laman budaya.jogjaprov.go.id, budaya.jogjaprov.go.id labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung atau membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut).
Asal mula upacara labuhan konon dimulai pada awal masa pemerintahannya Panembahan Senopati yang mencari dukungan dari Nyi Roro Kidul.
Sebagai imbalannya, Panembahan Senopati harus memberikan persembahan yang diwujudkan dalam bentuk upacara labuhan, yang kemudian menjadi tradisi di Kerajaan Mataram.
Selanjutnya, meski Kerajaan Mataram telah terbagi menjadi dua (Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) karena Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, namun tradisi ini terus dilestarikan.
Upacara Labuhan Parangkusumo kini menjadi ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan alam yang diinterpretasikan dalam wujud melarung sesaji di pantai selatan.
Sesaji untuk upacara ini yang dibuat secara bersama-sama dengan sajian untuk sugengan plataran yang dibuat oleh kedua pawon (dapur) Keraton Yogyakarta yaitu pawon Sakalanggen (dapur sebelah timur) dan pawon Gebulen (dapur sebelah barat).
Sesaji tersebut terdiri atas sanggan, tukon pasar, pala gumantung, pala kependhem, dan pala kasimpar.
Selain itu, barang-barang yang akan dilarung pada saat labuhan adalah potongan kuku (kenaka), potongan rambut (rikma), beberapa potong pakaian bekas, dan benda bekas yang berujud payung (songsong) milik Sri Sultan yang dikumpulkan selama satu tahun.
Ada pula sekar, yaitu sejumlah bunga yang telah layu dan kering, dari bekas bunga sesaji pusaka-pusaka keraton yang dikumpulkan selama satu tahun dan sejumlah barang yang sebagian besar terdiri dari kain.
Selain tempat berlangsungnya Hajad Dalem, sampai saat ini Cepuri Parangkusumo banyak dikunjungi oleh peziarah terutama pada malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon.