Keraton Kerto yang pernah menjadi saksi kebesaran Sultan Agung dan Mataram Islam kini hanya menyisakan umpak dan reruntuhan.
Intisari-Online.com -Tak sekali, Mataram Islam pernah berpindah ibukota sebanyak empat kali.
Dari Kotagede pindah ke Kerto, pindah ke Plered, pindah ke Kartasura, pindah ke Surakarta.
Di Surakarta inilah Mataram Islam pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Bisa dibilang, dibanding lima keraton tersebut, Keraton Kerto yang paling sedikit jejaknya.
Keraton ini ditinggalkan penghuninya begitu saja setelah raja Mataram Islam Amangkurat I membangun Keraton Plered.
Bagaimana nasib Keraton Kerto sekarang?
Dalam perjalanannya hingga terbagi menjadi dua kerajaan seperti sekarang ini, Mataram Islam total memiliki lima keraton.
Setelah Kotagede, keraton selanjutnya berada di Kerto, Pleret, Kartasura, dan akhirnya yang sekarang menjadi Keraton Surakarta.
Pusat kerajaan pertama kali berpindah pada masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645).
Ketika itu pusat Kerajaan Mataram Islam dipindahkan dari Kotagede ke Kerto yang berjarak sekitar delapan kilometer.
Masa pemerintahan Sultan Agung merupakan masa kejayaan Mataram Islam.
Wilayah kekuasaannya saat itu mencakup pantai utara Jawa, Cirebon, Jawa Timur, hingga Madura.
Sultan Agung juga dua kali melakukan penyerangan fenomenal terhadap VOC di Batavia pada tahun 1628 dan 1629, meski usaha tersebut gagal.
Keraton Kerto dulunya berdiri di Dukuh Kerto, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Sebagai istana pada masa puncak kejayaan kerajaan, tentunya Keraton Kerto begitu megah pada masanya.
Namun kenyataannya sekarang tidaklah demikian.
Keraton Kerto seakan menghilang ditelan bumi.
Keraton Sultan Agung tersebut kini hanya tampak bagai lahan kosong di tengah perkampungan.
Orang yang tak tahu mungkin tidak sadar kalau di sana dulu pernah berdiri istana salah satu kerajaan terbesar di Indonesia.
Hal itu wajar karena peninggalan bangunan keraton nyaris tidak ada lagi.
Peninggalan Keraton Kerto yang tersisa hanyalah tiga umpak (alas tiang kayu) dari batu andesit.
Ukuran umpak ini cukup besar, yakni 85 cm x 85 cm dengan tinggi sekitar 65 cm.
Kini yang ada di Situs Kerto hanyalah dua umpak.
Umpak satu lagi sekarang menjadi umpak dari saka tunggal (satu tiang penyangga utama) Masjid Saka Tunggal di daerah Taman Sari atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Lokasi umpak berada diperkirakan merupakan Siti Hinggil Keraton Kerto.
Pusat Kerajaan Mataram Islam kembali berpindah usai Sultan Agung wafat pada tahun 1645.
Kali ini pemindahannya adalah dari Kerto ke Pleret yang hanya berjarak sekitar dua kilometer.
Pemindahan itu dilakukan pada masa pemerintahan anak Sultan Agung, Raden Mas Sayidin.
Dia naik tahta menjadi Raja Mataram Islam bergelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau yang lebih dikenal sebagai Amangkurat I.
Sampai saat ini, tidak ada alasan yang jelas mengapa Amangkurat I memindahkan kembali pusat kerajaan dari Kerto ke Pleret yang jaraknya tidak jauh.
Konon sejak pemindahan itu, Keraton Kerto ditinggalkan begitu saja dan tidak terawat.
Konstruksi bangunan yang sebagian besar menggunakan kayu pun menjadikan Keraton Kerto perlahan dihancurkan oleh alam.