"Ngabei Martanata menegaskan kepada Luton untuk segera menempati loji, mungkin Sunan akan murka jika loji itu sampai ambruk karena tak juga ditinggali," imbuh De Graaf.
Jelas, kekhawatiran Luton muncul akibat desas-desus penguasa pesisir Jawa tak menginginkan kehadiran Belanda di daratan Jawa.
Namun, perintah Sunan tetap dilakukan Luton, ia mulai mendiami loji yang tetap terlihat bobrok karena belum sepenuhnya diperbaiki.
Berkat perintah Sunan pula, Residen diwajibkan mengirim utusan untuk menempati loji-loji di pesisir Jepara.
Sehingga berjumlah sepuluh orang serdadu VOC yang tinggal disana.
"Sunan menitipkan pesan kepada Tumenggung, untuk memberitakan kabar bahagia, bahwa mereka (orang-orang Belanda) harus merasa senang bahwa seluruh negeri ini terbuka bagi mereka untuk berdagang secara bebas," sambungnya.
Meski begitu, para kompeni dilarang menurunkan dan menempatkan meriam mereka di loji-loji yang telah disediakan raja Mataram.
Pada 17 Agustus 1663, Kartijaya ditugaskan sebagai bupati Jepara oleh Sunan Amangkurat I untuk mengawasi loji-loji yang diisi oleh Belanda.
Kartijaya menemukan bahwa Luton ternyata tak tinggal di loji yang disediakan oleh Sunan.
Dia lebih memilih membeli rumah milik seorang Cina di Jepara.
Residen Luton menjelaskan alasannya, terkait ketakutannya dengan para syahbandar Jepara.
Dia meminta waktu untuk memagari loji, takut sewaktu-waktu diserang.
Namun, Kartijaya menolak memberi waktu, dan meminta secepatnya kembali ke loji.
Memasuki September 1663, Luton agaknya memahami alasan Sunan memaksa orang-orang Belanda segera mengisi loji-loji di kota pelabuhan, lebih khusus Jepara.
Luton diminta setiap tahunnya untuk mengirimkan legasi yang terhormat untuk mengisi loji-loji yang masih kosong.
"Rupanya legasi yang terhormat hanya akan digunakan untuk menaikkan nama dan wibawa Sunan di mata bangsa-bangsa tetangganya, serta mau memperlihatkan ketundukan bangsa Belanda kepada Jawa," ungkap De Graaf.
Bagaimanapun, sikap Sunan Amangkurat I dapat memberikan ketenangan dalam Keraton di tahun-tahun 1663 hingga 1664.
Di satu sisi karena ekonomi Mataram yang kembali pulih, di sisi lain karena hubungan baiknya dengan pihak Belanda.
"Orang-orang Belanda di Jepara juga mengalami masa tenang, kala itu, Jepara dikuasai para penguasa (pesisir Jepara) yang bersahabat dengan mereka," pungkasnya.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR