Bambu: Bahan Bangunan Tradisional yang Ramah Lingkungan dan Tahan Bencana

Ade S

Penulis

Jamil berbagi pengetahuan akan manfaat bambu kepada petualang National Geographic Indonesia Ramon Y. Tungka. Bambu sebenarnya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Sigi sebagai bahan untuk pendirian rumah tradisional mereka.
Jamil berbagi pengetahuan akan manfaat bambu kepada petualang National Geographic Indonesia Ramon Y. Tungka. Bambu sebenarnya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Sigi sebagai bahan untuk pendirian rumah tradisional mereka.

Intisari-Online.com -Bambu bukanlah tanaman liar yang harus dibasmi. Bambu adalah bahan bangunan tradisional yang digunakan oleh masyarakat adat di beberapa daerah di Sulawesi Tengah, seperti untuk membuat rumah dan lumbung padi. Bambu memiliki keunggulan sebagai bahan bangunan yang ramah lingkungan dan tahan bencana, khususnya banjir.

Hal ini diungkapkan oleh Jamil, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Singganipura Salua dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Ia berasal dari Desa Salua yang berdekatan dengan Sungai Palu yang bersumber dari Taman Nasional Lore Lindu. Pada tahun 2018, gempa bumi mengubah kondisi alam di sekitarnya.

Gempa menyebabkan aliran sungai terhenti dan kering. Namun, tiga hari setelah gempa, hujan deras menyebabkan air meluap dari dataran tinggi. Banjir pun melanda desa-desa di bawahnya.

Rumah tradisional yang terbuat dari bambu ternyata mampu bertahan dari banjir tanpa basah di dalamnya. Namun, beberapa rumah mengalami kerusakan akibat gempa.

"Gempa [tahun] 2018 itu semua diubah jadi kayu semua," kata Jamil saat ditemui dalam acara Telusur Komoditas Lestari di Desa Bobo, Kecamatan Palolo pada Minggu, 25 Juni 2023. Acara ini merupakan bagian dari Festival Lestari V yang diselenggarakan oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).

Penggantian dengan kayu ini dikarenakan bantuan yang datang dari Palu dan Sigi tidak menyediakan bambu. Masyarakat tidak punya pilihan selain menggunakan kayu untuk membangun kembali rumah mereka. "Namun setelah bambu tumbuh, belakangan, mereka balik lagi dengan bambu [sebagai bahan bangunan] untuk rumah tradisional," lanjutnya.

Sayangnya, tidak semua masyarakat di Kabupaten Sigi menyadari manfaat bambu sebagai bahan bangunan yang ramah lingkungan dan tahan bencana. Banyak rumah yang lebih memilih menggunakan batu yang justru menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.

Sedangkan bambu di lahan pertanian, malah ditebang karena dianggap sebagai gulma yang menghalangi pembukaan lahan. Padahal, menurut sebuah studi Nature India tahun 2021, bambu memiliki peran penting dalam menyerap karbon.

Menyadari hal ini, Jamil dan teman-temannya di KTH Singganipura Salua berusaha membudidayakan bambu sejak 2017. Mereka menanam bambu di sepanjang Sungai Palu di Desa Salua untuk mencegah banjir.

"Sudah 2.000 pohon (bambu) kita tanam betul dengan bambu lokal itu untuk memitigasi bencana, karena desa kami (Desa Salua) itu memang rawan dengan bencana banjir," terang Jamil. Melalui kelompok tani itu, dia dan 14 orang lainnya di Desa Salua menyerukan larangan penebangan bambu.

"Atau [cara lainnya] memotivasi membuat kerajinan dari bambu seperti kursi bambu, jadi ada manfaatnya dari segi ekonomi," lanjut Jamil.

Bambu bukanlah tanaman yang sulit, sebab mudah tumbuh di berbagai kondisi. Ketika sudah rimbun untuk dimanfaatkan, pemotongannya pun tidak sembarangan.

Masyarakat tradisional di Sigi punya pemahaman, bambu baru boleh dipotong pada waktu yang sudah ditentukan oleh masyarakat tradisional. Jamil menjelaskan, pemotongan dilakukan ketika "bulan tua di langit" sudah muncul. Artinya, setiap bulan berada di fase tua atau setelah purnama hingga menjelang hilal dalam kalender Hijriah, bambu boleh dipotong.

"Jadi menghitungnya bila, kalau dia (bulan) sudah lima belas [hari muncul], itu sudah boleh menebang," ungkap Jamil. "Pantangannya, karena tantangannya kalau kita di tidak mengikuti [siklus] itu pasti rayap akan masuk."

Jamil dan rekan-rekan di KTH Singganipura Salua ingin mengupayakan pemanfaatan bambu secara maksimal, agar masyarakat memahami pentingnya merawat dan melestarikannya. Hanya saja saat ini, kelompok tersebut membuat kerajinan bambu berupa kursi dan bakul secara manual.

Oleh karena itu, mereka memerlukan bantuan pengembangan yang bisa memotivasi semangat pelestarian dan pemanfaatan bambu secara berkelanjutan.

"Upaya tersebut menjadi bukti yang sahih bahwa kearifan lokal tetap dan selalu menjadi kunci dan solusi dalam menangani persoalan dalam sejarah hidup manusia. Metode kearifan lokal yang memantik pengembangan inovasi dalam mitigasi bencana," kata penjelajah National Geographic Indonesia Ramon Y. Tungka.

"Kita kembali diingatkan bahwa hasil bumi yang dibudidayakan dengan berlandaskan prinsip keberlanjutan, dan selalu terbalut kearifan lokal memberi manfaat kesejahteraan yang baik untuk manusia dan alam," lanjut Ramon.

(Afkar Aristoteles Mukhaer)

Baca Juga: Kabupaten Sigi Gelar Festival Lestari 5 untuk Mendorong Pembangunan Berbasis Alam

Artikel Terkait