Festival Lestari 5, Langkah untuk Memperkuat Perda Sigi Hijau

Ade S

Penulis

Komitmen Sigi Hijau disampaikan oleh Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta dalam konferensi pers Festival Lestari 5 di Bukit Indah Doda, Rabu (21/6/2023).
Komitmen Sigi Hijau disampaikan oleh Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta dalam konferensi pers Festival Lestari 5 di Bukit Indah Doda, Rabu (21/6/2023).

Intisari-Online.com -Banyak daerah yang mengandalkan sumber daya alam untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, namun seringkali melupakan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial.

Namun, hal berbeda terlihat di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Kabupaten ini memiliki 74 persen wilayahnya yang masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan menjadi bagian dari Cagar Biosfer Lore Lindu. Di sini, harmoni antara manusia dan alam terjaga dengan baik.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi pun tidak tergiur untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Sigi menyadari bahwa sebagai daerah penyangga (buffer area) TNLL, mereka memiliki tanggung jawab untuk melindungi Cagar Biosfer Lore Lindu.

Hal ini ditegaskan oleh Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta dalam konferensi pers Festival Lestari 5 di Bukit Indah Doda, Rabu (21/6/2023).

Festival Lestari 5 adalah sebuah acara yang menjadi ajang promosi dan perayaan kerjasama multipihak untuk pembangunan lestari di kabupaten anggota Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).

Festival Lestari 5 yang dituanrumahi oleh Kabupaten Sigi akan berlangsung pada 23-25 Juni 2023.

Irwan menjelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Sigi Hijau. Melalui perda tersebut, Pemkab Sigi berkomitmen mengedepankan pembangunan dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan.

“Dalam Perda Sigi Hijau, lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang tempat manusia dan unsur-unsur pendukung kehidupan manusia berperilaku dan saling memengaruhi. Dengan demikian, alam dapat berfungsi sebagai suatu sistem pendukung kehidupan yang damai dan harmonis,” jelas Irwan.

Setiap orang, lanjut Irwan, berpeluang untuk saling berinteraksi dan berbagi manfaat dari alam untuk mencapai kesejahteraan. Namun, konsep yang diterapkan harus berkelanjutan.

“Tidak penting mengejar pertumbuhan yang masif, tetapi untuk mencapainya kita harus mengorbankan lingkungan. Pada suatu saat, praktik itu akan menjadi bom waktu bagi kehidupan di masa depan,” ujar Irwan.

Irwan kemudian memaparkan bahwa perut bumi Kabupaten Sigi menyediakan sumber daya alam yang bisa saja dieksploitasi habis-habisan jika pemerintah setempat bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi semata.

Ia mengatakan, Kabupaten Sigi kaya akan emas, bijih besi, dan hasil hutan berupa kayu. Tanah di Kabupaten Sigi pun subur dan bisa saja disulap menjadi lahan industri perkebunan sawit. Namun, bukan langkah itu yang diambilnya.

“Jika harus mengolah lahan, tidak boleh serampangan dan membawa mudharat untuk kehidupan generasi mendatang,” ucap Irwan.

Setelah nyaris 10 tahun memimpin Kabupaten Sigi, ia menyadari bahwa wilayahnya tersebut akrab dengan bencana, seperti banjir dan longsor. Karena itu, menurutnya, konsep pembangunan dengan perspektif lingkungan adalah keniscayaan.

Pertumbuhan yang tidak mendegradasi lingkungan

Sumber-sumber ekonomi di Kabupaten Sigi, kata Irwan, dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan daerah dengan praktik yang tidak mendegradasi lingkungan.

Misalnya, petani kopi, kakao, vanili, dan tanaman hortikultura yang selama ini telah dikembangkan masarakat di tingkat tapak.

Setidaknya ada tujuh desa di Kabupaten Sigi yang menjadi pemasok utama komoditas hortikultura di Pasar Kota Palu. Tujuh desa itu antara lain, Jono Oge, Sidera, Oloboju, Watunonju, Pombeve dan Bora serta desa Soulove. Semua desa tersebut terletak di Kecamatan Biromaru.

“Selain itu, saat ini yang sedang dan terus dikembangkan adalah wisata alam. Panorama alam Mantantimali di Desa Wayu, Kecamatan Kinavaro yang menawarkan olahraga paralayang masih terus dikembangkan dan ditawarkan kepada penggemar olahraga outdoor yang memacu adrenalin,” cerita Irwan.

Paralayang di Desa Wayu akan menjadi salah satu sajian dalam rangkaian Festival Lestari 5. Ia berharap, spot wisata alam dan olahraga ekstrem tersebut menjadi lebih dikenal publik. Dengan begitu, peluang ekonomi terbuka bagi masyarakat di wilayah ini.

Spot wisata alam lainnya yang akan “dipamerkan” dalam Festival Lestari 5 adalah Hutan Ranjuri di Desa Beka. Hutan ini berisi tanaman-tanaman purba dengan ketinggian lebih dari 450 meter. Untuk mencapainya, wisatawan hanya perlu menempuh perjalanan selama 30 menit dari Kota Palu.

“Komoditas lainnya yang memberi potensi keuntungan ekonomi bagi warga Sigi adalah kopi. Namun, ada persoalan krusial yang harus dibenahi soal kopi dari Kabupaten Sigi ini. Saya berharap, merek yang keluar cukup Kopi Sigi saja. Namanya tidak perlu beragam,” katanya.

Saat ini, menurut dia, merek dagang kopi dari Kabupaten Sigi dibuat berdasarkan wilayah atau desa tempat kopi diproduksi.

''Ada kopi Kamanuru ada Kopi Kinavaro dan lain-lain. Nah, bagaimana ini kita satukan nama merek dagangnya? Apa lagi kopi dari Sigi sudah menembus pasar di luar negeri,'' katanya bersemangat.

Pemerintah mendorong ekonomi lestari

Testimoni dari Zaitun, pegiat Koperasi Tani Vanili Simpotove; Nadya Sinintha Maulining dari Kaum Muda Sigi dan Gampiri Interaksi; serta Herri Ramadhani pemilik Pipikoro Coffee, yang banyak mendapat dukungan dari pemkab, memberi gambaran tentang bagaimana pemerintah setempat mendorong usaha-usaha ekonomi warga tanpa harus merusak lingkungan.

Komitmen itu tergambar pula secara tegas dalam Perda Sigi Hijau. Pembangunan berkelanjutan yang menjadi nafas Perda tersebut adalah adalah proses pembangunan pada segala sektor yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.

Dalam Perda Sigi Hijau, pemerintah harus melaksanakan pelestarian dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan.

''Ini antara lain yang ingin dicapai pada gelaran festival kali ini. Perdanya sudah ada. Dinas Lingkungan Hidup juga masih ada yang akan menjelaskan. Mestinya kerja-kerja baik yang berangkat dari niat baik tetap harus mendapat tempa,'' sebut Irwan.

(Kontributor National Geographic Indonesia: Yardin Hasan)

Artikel Terkait