Setiap pupuh terdiri dari beberapa pada atau bait yang berisi syair-syair penuh makna.
Kitab ini menggunakan gaya sastra macapat, yaitu salah satu bentuk sastra lisan Jawa yang dilantunkan dengan irama tertentu.
Kitab Suryaraja kemudian diberi nama Kangjeng Kyai Suryaraja oleh Hamengkubuwono II setelah ia naik takhta sebagai raja Yogyakarta pada tanggal 2 April 1792 menggantikan ayahnya yang wafat.
Nama tersebut mengandung arti bahwa kitab ini adalah guru agung yang bercahaya seperti matahari. Kitab ini juga menjadi salah satu simbol kekuasaan dan kebesaran Hamengkubuwono II.
Kitab Kangjeng Kyai Suryaraja tidak disimpan di perpustakaan keraton yang disebut Paheman Widyabudaya, tetapi ditempatkan di ruang pusaka yaitu di Dalem Prabayeksa.
Kitab ini dianggap sebagai salah satu pusaka keraton yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi.
Kitab ini juga menjadi saksi bisu dari perjalanan hidup Hamengkubuwono II yang penuh liku-liku.
Hamengkubuwono II dikenal sebagai raja yang keras dan anti terhadap Belanda maupun Inggris.
Ia sering terlibat dalam konflik-konflik dengan para putra Mangkubumi (paman Hamengkubuwono I) dan orang-orang Eropa yang menghiasi jalannya pemerintahan.
Ia juga menjadi salah satu tokoh penting dalam Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Pada bulan Desember 1810, Hamengkubuwono II dipaksa turun takhta oleh Herman Willem Daendels, gubernur jenderal Hindia Belanda, dan digantikan oleh putranya, Raden Mas Surojo, yang kemudian menjadi Hamengkubuwono III.
Baca Juga: Korupsi Di Kesultanan Mataram Yogyakarta Bikin Pangeran Diponegoro Geram, Terjadilah Perang Jawa
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR