Kangjeng Kyai Suryaraja, Kitab Ramalan Hamengkubuwono II yang Menjadi Pusaka Keraton Yogyakarta

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Raja Mataram Yogyakarta, Hamengkubuwono II
Raja Mataram Yogyakarta, Hamengkubuwono II

Intisari-online.com - Kangjeng Kyai Suryaraja adalah salah satu kitab pusaka yang dikeramatkan di Keraton Yogyakarta.

Kitab ini ditulis oleh Hamengkubuwono II, raja kedua Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828.

Kitab ini berisi ramalan tentang masa depan Keraton Yogyakarta dan hubungannya dengan Keraton Surakarta.

Hamengkubuwono II lahir dengan nama Raden Mas Sundoro pada tanggal 7 Maret 1750 di Gunung Sindoro.

Ia adalah putra kelima dari Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta, dan Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten, permaisuri kedua.

Kemudian diakui sebagai adipati anom setelah ayahnya mendapat pengakuan kedaulatan dari VOC dalam perjanjian Giyanti tahun 1755.

Pada tahun 1774 atau tahun Jawa 1700, terjadi kegelisahan di kalangan Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh.

Dalam kesempatan itu, Raden Mas Sundoro menulis kitab Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya.

Ia juga meramalkan bahwa ia akan menjadi raja yang tiga kali naik takhta dan tiga kali disingkirkan.

Kitab Suryaraja ditulis dengan menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa kuno.

Kitab ini terdiri dari empat pupuh atau bab, yaitu Asmaradana, Mijil, Megatruh, dan Sinom.

Baca Juga: Masjid Sampangan, Simbol Diplomasi Mataram Islam Dan Kadipaten Madura

Setiap pupuh terdiri dari beberapa pada atau bait yang berisi syair-syair penuh makna.

Kitab ini menggunakan gaya sastra macapat, yaitu salah satu bentuk sastra lisan Jawa yang dilantunkan dengan irama tertentu.

Kitab Suryaraja kemudian diberi nama Kangjeng Kyai Suryaraja oleh Hamengkubuwono II setelah ia naik takhta sebagai raja Yogyakarta pada tanggal 2 April 1792 menggantikan ayahnya yang wafat.

Nama tersebut mengandung arti bahwa kitab ini adalah guru agung yang bercahaya seperti matahari. Kitab ini juga menjadi salah satu simbol kekuasaan dan kebesaran Hamengkubuwono II.

Kitab Kangjeng Kyai Suryaraja tidak disimpan di perpustakaan keraton yang disebut Paheman Widyabudaya, tetapi ditempatkan di ruang pusaka yaitu di Dalem Prabayeksa.

Kitab ini dianggap sebagai salah satu pusaka keraton yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi.

Kitab ini juga menjadi saksi bisu dari perjalanan hidup Hamengkubuwono II yang penuh liku-liku.

Hamengkubuwono II dikenal sebagai raja yang keras dan anti terhadap Belanda maupun Inggris.

Ia sering terlibat dalam konflik-konflik dengan para putra Mangkubumi (paman Hamengkubuwono I) dan orang-orang Eropa yang menghiasi jalannya pemerintahan.

Ia juga menjadi salah satu tokoh penting dalam Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Pada bulan Desember 1810, Hamengkubuwono II dipaksa turun takhta oleh Herman Willem Daendels, gubernur jenderal Hindia Belanda, dan digantikan oleh putranya, Raden Mas Surojo, yang kemudian menjadi Hamengkubuwono III.

Baca Juga: Korupsi Di Kesultanan Mataram Yogyakarta Bikin Pangeran Diponegoro Geram, Terjadilah Perang Jawa

Namun, pada bulan Desember 1811, ia dikembalikan ke takhta oleh Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal Inggris.

Namun, karena sikapnya yang agresif terhadap Inggris, ia kembali disingkirkan pada bulan Juni 1812 dan diasingkan ke Pulau Pinang.

Ia kembali ke Jawa pada tahun 1815, tetapi pada tahun 1817, ia dianggap sebagai ancaman oleh Belanda dan diasingkan untuk kedua kalinya, kali ini ke Ambon.

Pada tahun 1826, Belanda memutuskan untuk mengembalikannya dari pengasingan dan mengembalikannya sebagai raja Yogyakarta.

Masa pemerintahannya yang ketiga bertepatan dengan Perang Jawa. Pada tanggal 3 Januari 1828, ia meninggal dunia. Ia digantikan oleh cicitnya, Hamengkubuwono V.

Hamengkubuwono II tidak dimakamkan di pemakaman kerajaan Imogiri, tetapi di Kotagede, karena situasi yang tidak kondusif pada saat itu.

Makamnya berada di kompleks makam raja-raja Mataram Islam yang pertama.

Makamnya dikenal dengan nama Makam Sultan Sepuh.

Artikel Terkait