Istilah Walaputra justru bermakna "putra bungsu", yaitu Rakai Kayuwangi yang dipuji berhasil mengalahkan musuh kerajaan.
Adapun Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang berhasil mengalahkan musuh ayahnya.
Tapi prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah itu ternyata tidak ada yang menyebut nama Balaputradewa, tapi Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni.
Artinya, musuh Rakai Pikatan yang berhasil dikalahkan oleh Rakai Kayuwangi sang Walaputra ternyata bernama Mpu Kumbhayoni, bukan Balaputradewa.
Tokoh Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni mengaku sebagai keturunan pendiri Kerajaan Medang.
Jadi sangat mungkin apabila ia memberontak terhadap Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya.
Terlepas dari apa pun yang berkembang, Balaputradewa punya darah Mataram Jawa.
Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa.
Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah raja Sriwijaya.
Pendapat yang paling populer menyebutkan Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan Sriwijaya dari kakeknya yang bernama Sri Dharmasetu.
Namun, ternyata nama Sri Dharmasetu terdapat dalam prasasti Kelurak sebagai bawahan Dharanindra yang ditugasi menjaga bangunan Candi Kelurak.
Jadi, Dharanindra berbesan dengan pegawai bawahannya, bernama Sri Dharmasetu melalui perkawinan antara Samaragrawira dengan Dewi Tara.
Dharmasetu menurut prasasti Kelurak adalah orang Jawa.
Jadi, teori populer bahwa ia merupakan raja Kerajaan Sriwijaya adalah keliru.
Balaputradewa berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi takhta Sri Dharmasetu, tetapi karena pada saat itu pulau Sumatra telah menjadi daerah kekuasaan Wangsa Sailendra.
Sama halnya dengan pulau Jawa.
Berdasarkan analisis prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya dikuasai Wangsa Sailendra sejak zaman Maharaja Wisnu.
Sebagai anggota Wangsa Sailendra, Balaputradewa berhasil menjadi raja di Sumatera, sedangkan kakaknya, yaitu Samaratungga menjadi raja di Jawa.
Begitulah ikatan darah antara Sriwijaya dan Mataram Kuno.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR