Kisah Pakubuwono XI, Susuhunan Mataram Islam Surakarta yang Berkuasa di Tengah Perang Dunia II

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Sosok Paku Buwono XI, raja Mataram Islam Surakarta yang berkuasa pada masa Perang Dunia II
Sosok Paku Buwono XI, raja Mataram Islam Surakarta yang berkuasa pada masa Perang Dunia II

Intisari-online.com -Pakubuwono XI adalah pemimpin Kasunanan Surakarta yang berkuasa dari tahun 1939 sampai 1945, sebuah masa yang penuh dengan pergolakan dan pergeseran politik di Indonesia.

Ia menghadapi tantangan dari dua penjajah asing, yaitu Belanda dan Jepang, serta berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pakubuwono XI dilahirkan pada 1 Februari 1886 dengan nama Raden Mas Ontoseno.

Ia adalah anak tertua Pakubuwono X, pemimpin Kasunanan Surakarta sebelumnya, dari istri selir KRAy. Mandayaretna. Ketika dewasa, ia bergelar KGPH. Hangabehi.

Pengangkatan Pakubuwono XI sebagai pemimpin Kasunanan Surakarta tidak tanpa konflik.

Pasalnya, Pakubuwono X lebih condong memilih KGPH. Kusumayuda (GRM. Abimanyu), adik Hangabehi, untuk meneruskan tahtanya.

Apalagi di mata Pemerintah Hindia Belanda, Kusumayuda dianggap sebagai bangsawan Jawa yang memiliki kepribadian kuat, mandiri, serta tertarik pada masalah keuangan dan administrasi keraton.

Di sisi lain, posisi Hangabehi juga sangat kuat, terutama dukungan mayoritas elite keraton yang anti-Belanda.

Pakubuwono X sendiri memiliki putra dan putri lebih dari 60 orang.

Masalah yang menjadi penghalang ialah bahwa Pakubuwono X tidak memperoleh putra dari kedua permaisurinya.

Dua putra Pakubuwono X yang tertua, Hangabehi dan Kusumayuda, lahir dari selir.

Baca Juga: Wilayah yang Dikuasai oleh Raden Mas Said Usai Perjanjian Salatiga yang Memecah Mataram Islam Menjadi Tiga

Sebenarnya pada tahun 1898 Pakubuwono X sudah berniat mengangkat Kusumayuda sebagai putra mahkota meski usianya 40 hari lebih muda dari Hangabehi.

Namun akhirnya keinginan Pakubuwono X itu dibatalkan, dan ia lebih memilih Hangabehi untuk menjadi pewaris tahta.

Hangabehi kemudian diberikan sejumlah posisi penting, di antaranya menjabat sebagai Wedana Tengen (jabatan setingkat Pangageng Putra Sentana), serta memperoleh kepercayaan sesoeratman, sebagai Wakil Ketua Raad Nagari, sebuah dewan pertimbangan kerajaan yang didirikan oleh Pakubuwono X.

Ia juga ditugaskan oleh ayahnya untuk menghadiri perayaan 40 tahun penobatan Ratu Wilhelmina di Belanda.

Masa Pemerintahan

Pada akhir November 1938, Pakubuwono X jatuh sakit parah, dan meninggal tiga bulan kemudian.

Atas saran Parlemen Belanda, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memilih Hangabehi untuk menggantikan ayahnya sebagai Pakubuwono XI.

Ia dinobatkan sebagai pemimpin Kasunanan Surakarta pada tanggal 26 April 1939.

Penobatan Pakubuwono XI disertai dengan kontrak politik yang mengurangi kedaulatan pemimpin Kasunanan Surakarta, yang menyebutkan bahwa Pakubuwono XI akan digulingkan jika ia tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak politik, ditambah dengan pemotongan anggaran pengeluaran kerajaan secara drastis.

Masa pemerintahan Pakubuwono XI ditandai oleh masa yang sulit, bertepatan dengan Perang Dunia II.

Ia juga mengalami pergantian pemerintahan kolonial, dari Belanda ke Jepang sejak tahun 1942.

Baca Juga: Kematian Ratu Mas Malang, Hari-hari Tergelap Dalam Hidup Raja Mataram Islam Amangkurat I

Saat Jepang masuk ke Indonesia, Pakubuwono XI bersikap kooperatif dengan penguasa baru tersebut.

Ia menyerahkan sebagian besar wilayah kerajaannya kepada Jepang untuk dijadikan ladang pertanian bagi tentara Jepang.

Kemudian menyetujui pembentukan Pusat Tenaga Rakyat (Putera), sebuah organisasi yang dibentuk oleh Jepang untuk menghimpun tokoh-tokoh nasionalis Indonesia.

Namun, di balik sikap kooperatifnya, Pakubuwono XI juga memberikan dukungan kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Ia memberikan bantuan finansial dan logistik kepada para pejuang kemerdekaan, seperti Sutomo dan Sudirman.

Juga mengizinkan keratonnya menjadi tempat persembunyian bagi para pejuang yang dikejar oleh Jepang.

Pakubuwono XI meninggal pada 1 Juni 1945, sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Ia dimakamkan di Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Ia digantikan oleh putranya, Pakubuwono XII.

Artikel Terkait