Terbukti, selama empat abad berdiri, terdapat 12 sultan Buton yang dihukum karena melanggar undang-undang.
Kesultanan Buton juga memegang lima falsafah hidup, yakni agama (Islam), Sara (pemerintah), Lipu (negara), Karo (diri pribadi/rakyat), dan Arataa (harta benda).
Pada masa kejayaannya, Kesultanan Buton pernah menguasa Pulau Buton dan beberapa wilayah di provinsi Sulawesi Tenggara.
Untuk mendukung pemerintahannya, kesultanan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi dan Pulau Jawa.
Hubungan itu membuat perekonomian Kesultanan Buton berkembang pesat, terutama dalam sektor perdagangan.
Terlebih lagi, Buton termasuk wilayah strategis, yang sering dilalui oleh kapal dagang dari mancanegara.
Selain itu, produksi rempah-rempahnya juga meningkat tajam.
Kesultanan Buton diketahui telah memiliki alat pertukaran atau mata uang yang disebut kampua, yakni sehelai kain tenun berukuran 17,5 cm x 8 cm.
Pada abad ke-17, pemerintahan Buton telah mengembangkan sistem perpajakan yang sangat baik, di mana pajaknya agak ditagih oleh seorang Tunggu Weti.
Unggul melawan VOC Sejak awal abad ke-17, Kesultanan Buton telah menyepakati perjanjian dengan VOC.
Namun, dalam perkembangannya, VOC mulai menunjukkan niat buruknya untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Buton.
Alhasil, hubungan keduanya pun memburuk hingga berujung pada serangkaian peperangan yang menewaskan banyak korban.
Kendati demikian, Kesultanan Buton berhasil mempertahankan kerajaannya dari gempuran VOC.
Bahkan sampai akhir pun Belanda tidak dapat menguasai Buton.
Meski berhasil memerangi Belanda, masa kemunduran Kesultanan Buton ternyata justru datang karena konflik internal kerajaan.
Kekuatan kesultanan pun semakin melemah hingga Indonesia merdeka.
Pada akhirnya, Kesultanan Buton hanya dapat bertahan hingga 1960, ketika sultan terakhirnya meninggal.
Setelah itu, Kesultanan Buton bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR