Lebih dari 20 ribu masyarakat Kalimantan Barat dibantai oleh tentara penjajah Jepang. Semua berawal dari desas-desus adanya gerakan bawah tanah yang hendak memberontak Dai Nippon.
Intisari-Online.com -Ada satu peristiwa berdarah yang tak mungkin dilupakan masyarakat Kalimantan Barat.
Itulah Peristiwa Mandor, ketika lebih dari 20 puluh ribu rakyat Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, dibantai oleh tentara Jepang.
Tidak bisa tidak, peristiwa yang terjadi pada 28 Juni 1944 itu adalah salah satu tragedi kemanusiaan terburuk yang pernah terjadi di Indonesia.
Semua bermula dari desas-desus yang terdengar oleh tentara Jepang.
Saat itu,Polisi Rahasia Kaigun atau Tokkeitai mendengar adanya persekongkolan pemberontakan melawan Jepang.
Bagaimanapun juga, saat itu kebencian terhadap penjajah Jepang sedang di ujung tanduk.
Selama pendudukan Jepang, rakyat dipaksa bekerja, disiksa jika tak menurut, kelaparan, hingga tak punya pakaian.
Di saat yang sama, Jepang membutuhkan simpati rakyat untuk mendukung perangnya.
Maka Jepang mendirikan Nissinkai, organisasi politik untuk menyalurkan ide-ide politik, yang tentunya tidak mengancam Jepang.
Tokoh politik, pengusaha, dan cendekiawan yang tergabung di antaranya JE Pattiasina (Kepala Urusan Umum Kantor Syuutizityo), Notosoedjono (tokoh Parindra), dan Ng Nyiap Sun (Kepala Urusan orang Asing/Kakyo Toseikatyo).
Para tokoh pergerakan ini diam-diam juga memiliki gerakan bawah tanah yang disebut Gerakan Enam Sembilan, jumlah anggotanya 69.
Tidak diketahui pasti siapa saja 69 orang itu.
Pada tahun 1943, pemberontakan terjadi, namun bukan di Kalimantan Barat melainkan Kalimantan Selatan.
Khawatir pemberontakan juga akan pecah di Kalimantan Barat, Jepang pun melakukan pencegahan.
Pada 23 Oktober 1943, Jepang menangkap para penguasa setempat, tokoh masyarakat, kaum terdidik dan terpelajar, dan menahannya di markas Tokkeitai.
Konferensi Nissinkai yang digelar pada 24 Mei 1944 bahkan berubah jadi penangkapan besar-besaran.
Para tokoh Nissinkai diciduk, kerabat dan keluarga yang diduga terlibat juga dijemput.
Puncaknya pada 28 Juni 1944, sidang kilat dilaksanakan untuk mengadili mereka yang ditangkap.
Peristiwa ini dikenal dengan istilah "Penyungkupan".
Mereka diciduk, tangan diikat ke belakang dan wajah ditutup.
Kemudian mereka digiring ke tempat yang tidak diketahui, dan dihabisi dengan pedang atau diberondong tembakan.
Penangkapan dan pembantaian ini diyakini hanya tuduhan yang diada-adakan Jepang untuk meredam pergerakan.
Surat kabar Pemerintah Balatentara Jepang, Borneo Sinbun memberitakan pembantaian ini pada 1 Juli 1944.
Halaman pertama membuat berita utama "Komplotan Besar yang Mendurhaka untuk Melawan Dai Nippon Sudah Dibongkar Sampai ke Akar-akarnya."
Berita di bawahnya berjudul, "Kepala-kepala Komplotan serta Lain-lainnya Ditembak Mati. Keamanan di Borneo Barat Tenang Kembali dengan Sempurna."
Tidak disebutkan di mana eksekusi dilakukan atau di mana jenazah dimakamkan.
Pembantaian terhadap rakyat Kalimantan Barat tak berhenti di situ.
Dari 1941 hingga 1945, tercatat ribuan rakyat Kalimantan Barat dilenyapkan.
Yang paling menyedihkan, akibat pembantaian yang dilakukan Jepang, Kalimantan Barat kehilangan satu generasi terbaiknya.
Mereka adalah bangsawan, tokoh-tokoh politik, kaum terdidik dan terpelajar, dan hartawan dari lintas etnis dan agama.
Sementara Yamamoti, seorang kepala kempeitai atau polisi militer Jepang di Kalimantan Barat mengatakan jumlah korban mencapai 50.000 orang.
Pinggiran Kota Mandor, sebuah wilayah kecil yang berjarak sekitar 88 kilometer dari Kota Pontianak, belakangan diketahui sebagai salah satu tempat korban dikubur massal.
Sejak tahun 1973, ziarah rutin digelar Pemda Kalimantan Barat ke Mandor.
Di sana dibangun monumen. Tanggal 28 Juni pun diperingati sebagai Hari Berkabung Kalimantan Barat.