Intisari-online.com - Dua partai politik yang saling berlawanan dan bersaing dalam sejarah politik Indonesia adalah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Kedua partai ini memiliki pandangan yang berbeda secara mendasar, yaitu antara Islam dan komunisme.
Mereka juga berusaha memenangkan kekuasaan dan pengaruh di parlemen dan di masyarakat.
Masyumi adalah partai politik yang mewakili kalangan Islam di Indonesia.
Partai ini dibentuk pada tahun 1943 oleh Jepang sebagai lembaga koordinasi organisasi-organisasi Islam.
Setelah kemerdekaan, Masyumi menjadi salah satu partai besar yang mendukung Republik Indonesia.
Masyumi memiliki massa yang banyak, terutama di Jawa Barat, Sumatera, dan Sulawesi.
Tokoh-tokoh penting Masyumi antara lain Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap.
PKI adalah partai politik tertua di Indonesia yang berhaluan komunis.
Partai ini didirikan pada tahun 1920 oleh sekelompok aktivis pergerakan nasional.
Setelah mengalami masa-masa sulit akibat penindasan kolonial Belanda dan Jepang, PKI bangkit kembali setelah kemerdekaan.
Baca Juga: Belajar Dari Peristiwa Penipuan iPhone Rihana-Rihani, Kenapa Kita Ngebet Punya iPhone Walau Mahal?
PKI memiliki massa yang kuat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Tokoh-tokoh penting PKI antara lain D.N. Aidit, Musso, Tan Malaka, dan Dipa Nusantara Aidit.
Pemilu 1955
Pemilu 1955 adalah pemilu pertama yang diselenggarakan secara demokratis di Indonesia. Pemilu ini melibatkan 29 partai politik yang bersaing untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Masyumi dan PKI adalah dua partai besar yang mendapatkan suara terbanyak setelah PNI (Partai Nasional Indonesia) dan NU (Nahdlatul Ulama).
Masyumi memperoleh 7.903.886 suara atau 20,9% dari total suara sah, sementara PKI memperoleh 6.176.914 suara atau 16,4% dari total suara sah.
Masyumi mendapatkan 57 kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), sementara PKI mendapatkan 39 kursi di DPR.
Dalam kampanye pemilu, Masyumi dan PKI saling menjelekan dengan isu-isu yang sensitif.
Masyumi menuduh PKI sebagai partai ateis yang anti-agama dan anti-nasionalis.
Masyumi juga mengkritik usulan PKI untuk mengganti sila pertama Pancasila dengan prinsip kebebasan beragama.
PKI menuduh Masyumi sebagai partai reaksioner yang pro-imperialisme dan pro-feodalisme.
PKI juga mengecam sikap Masyumi yang menolak pengakuan kedaulatan Republik Demokratik Vietnam oleh Indonesia.
Konflik dan Kompromi
Setelah pemilu, Masyumi dan PKI terlibat dalam berbagai konflik dan kompromi politik.
Mereka berada di pihak yang berlawanan dalam beberapa isu penting, seperti:
1. Peristiwa Rengasdengklok: Pada tanggal 16 Agustus 1945, sekelompok pemuda proklamator merencanakan untuk menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu.
Rencana ini didukung oleh PKI, tetapi ditentang oleh Masyumi.
2. Peristiwa Madiun: Pada tanggal 18 September 1948, terjadi pemberontakan komunis di Madiun yang dipimpin oleh Musso dan Amir Sjarifuddin.
Pemberontakan ini menuntut pembentukan pemerintahan revolusioner yang berhaluan komunis. Pemberontakan ini ditumpas oleh pemerintah yang didukung oleh Masyumi.
3. Perjanjian Renville: Pada tanggal 17 Januari 1948, pemerintah Indonesia dan Belanda menandatangani perjanjian gencatan senjata yang disebut Perjanjian Renville.
Perjanjian ini mengakui garis demarkasi yang membagi wilayah Indonesia menjadi wilayah Republik dan wilayah Belanda.
Perjanjian ini dikritik oleh PKI sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan, sementara Masyumi mendukungnya sebagai langkah diplomasi.
4. Peristiwa PRRI/Permesta: Pada tahun 1958, terjadi pemberontakan regional di Sumatera dan Sulawesi yang dipimpin oleh sejumlah tokoh militer dan sipil yang tidak puas dengan pemerintahan pusat.
Pemberontakan ini dikenal sebagai PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Piagam Perjuangan Semesta) di Sulawesi.
Pemberontakan ini didukung oleh sebagian besar kader Masyumi, tetapi ditentang oleh PKI.
Baca Juga: Bikin Penasaran, Inilah Sosok Yang Memegang Saham Mayoritas PT Freeport Indonesia
Di sisi lain, Masyumi dan PKI juga pernah berada di pihak yang sama dalam beberapa isu penting, seperti:
1. Konstituante: Pada tahun 1956, terbentuk sebuah lembaga yang bertugas untuk menyusun konstitusi baru bagi Indonesia yang disebut Konstituante.
Lembaga ini terdiri dari anggota-anggota yang dipilih melalui pemilu 1955.
Masyumi dan PKI adalah dua partai besar yang memiliki kursi terbanyak di Konstituante, yaitu masing-masing 49 dan 45 kursi.
Kedua partai ini bersama-sama menolak usulan PNI untuk mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
2. Demokrasi Terpimpin: Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
Dekrit ini juga memulai era Demokrasi Terpimpin yang memberikan kekuasaan besar kepada Soekarno sebagai presiden sekaligus pemimpin tertinggi revolusi.
Dekrit ini ditentang oleh Masyumi dan PKI sebagai pelanggaran terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat.
3. Nasakom: Pada tahun 1960, Soekarno mencetuskan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) sebagai dasar ideologi negara.
Konsep ini bertujuan untuk menyatukan berbagai aliran politik di Indonesia dalam satu kesatuan revolusioner.
Konsep ini didukung oleh PKI sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi politik dari Soekarno, tetapi ditolak oleh Masyumi sebagai upaya untuk melemahkan peran Islam dalam politik.
Akhir persaingan
Pertarungan ideologi dan kekuasaan antara Masyumi dan PKI berakhir dengan tragis pada tahun 1965-1966.
Setelah terjadi G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia), sebuah kudeta yang diduga dilakukan oleh PKI untuk membunuh sejumlah jenderal Angkatan Darat, terjadi pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI oleh militer dan kelompok-kelompok anti-komunis.
Jumlah korban tewas diperkirakan antara 500 ribu hingga 3 juta orang.
Masyumi juga tidak luput dari dampak G30S/PKI. Partai ini dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta yang dianggap sebagai bagian dari rencana PKI untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno.
Partai ini juga dituduh mendukung gerakan anti-komunis yang melakukan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Akibatnya, partai ini dibubarkan.