Intisari-online.com - Piagam Jakarta adalah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Dirumuskan oleh Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Piagam Jakarta hakikatnya adalah teks deklarasi kemerdekaan Indonesia yang di dalamnya berisi manifesto politik, alasan eksistensi Indonesia, sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia.
Piagam Jakarta mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila, tetapi pada sila pertama juga tercantum frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Frasa ini, yang juga dikenal dengan sebutan "tujuh kata", pada akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yaitu badan yang ditugaskan untuk mengesahkan UUD 1945.
Perubahan ini tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses perdebatan dan kompromi politik yang melibatkan berbagai pihak, terutama kelompok Islam dan kelompok nasionalis.
Salah satu kelompok Islam yang berperan penting dalam perubahan Piagam Jakarta adalah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pada tahun 1926 oleh KH Hasyim Asy'ari.
Latar Belakang Perumusan Piagam Jakarta
Latar belakang perumusan Piagam Jakarta bermula dari dibentuknya BPUPK oleh pemerintah Jepang pada tanggal 1 Maret 1945 untuk mempersiapkan proses kemerdekaan Indonesia.
BPUPK terdiri dari 67 anggota yang berasal dari berbagai latar belakang politik, agama, suku dan daerah.
BPUPK mengadakan dua kali sidang pleno, yaitu pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945⁴.
Dalam sidang pertama BPUPK, terjadi perdebatan mengenai dasar negara Indonesia yang akan merdeka.
Baca Juga: Di Balik Peristiwa Dugaan Cek In Wakil Bupati Rokan Hilir Sulaiman, Alasannya: 'Cuma Antar Obat'
Beberapa anggota BPUPK mengemukakan pendapat mereka mengenai rumusan dasar negara, seperti Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Dari sekian banyak usulan, yang mendapat sambutan paling antusias adalah pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang menyampaikan konsep dasar negara yang disebut Pancasila.
Pancasila menurut Soekarno terdiri dari lima butir, yaitu:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme atau perikemanusiaan
- Mufakat atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Namun, pidato Soekarno ini tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian anggota BPUPK, terutama dari kelompok Islam yang menghendaki adanya penegasan tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam sila pertama.
Hal ini menimbulkan kontroversi dan polemik di antara anggota BPUPK.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, maka dibentuklah Panitia Sembilan yang bertugas untuk merumuskan dasar negara berdasarkan hasil sidang pertama BPUPK.
Panitia Sembilan terdiri dari sembilan anggota BPUPK, yaitu:
Baca Juga: Di Balik Peristiwa Bule Di Bali Suka Aneh-aneh, Mengapa Turis Di Bali Leluasa Melanggar Aturan?
- Soekarno (ketua)
- Muhammad Yamin
- Ahmad Subardjo
- Abikusno Tjokrosujoso
- Agus Salim
- Wahid Hasyim
- Muhammad Hatta
- Ki Bagus Hadikusumo
- Teuku Muhammad Hasan
Dari sembilan anggota ini, empat di antaranya berasal dari kelompok Islam, yaitu Agus Salim, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo dan Teuku Muhammad Hasan.
Dua di antaranya berasal dari NU, yaitu Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hasan.
Perumusan dan Perubahan Piagam Jakarta
Panitia Sembilan bekerja selama dua minggu untuk merumuskan dasar negara.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan mengeluarkan hasil kerjanya yang berupa rancangan Pembukaan UUD 1945 yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta.
Baca Juga: Mengapa dan Bagaimana Pertempuran 10 November 1945 Berlangsung?
Piagam Jakarta terdiri dari empat paragraf yang berisi lima sila sebagai berikut:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Piagam Jakarta disetujui oleh mayoritas anggota BPUPK dalam sidang pleno kedua pada tanggal 16 Juli 1945.
Namun, sebelum Piagam Jakarta dijadikan sebagai bagian dari UUD 1945, terjadi perubahan-perubahan yang signifikan atas inisiatif Mohammad Hatta dan atas persetujuan beberapa anggota Panitia Sembilan, khususnya dari NU.
Perubahan-perubahan tersebut dilakukan dengan alasan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang beragam suku dan agama, serta untuk menghindari potensi perpecahan atau separatisme dari daerah-daerah yang mayoritas penduduknya bukan Muslim, seperti Indonesia Timur.
Perubahan-perubahan tersebut juga didasarkan pada prinsip toleransi dan keadilan bagi semua warga negara tanpa membedakan agama atau keyakinan.
Berikut adalah perubahan-perubahan naskah Piagam Jakarta yang disepakati antara lain:
1. Kata "Mukaddimah" diganti dengan kata "Pembukaan".
2. Sila pertama, yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" telah diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
3. Perubahan pasal 6 UUD yang berbunyi "Presiden ialah orang asli Indonesia asli dengan beragama Islam" berubah menjadi "Presiden ialah orang Indonesia asli".
4. Penambahan kata "dan" di antara kata "permusyawaratan" dan "perwakilan" pada sila keempat.
5. Penambahan kata "dan internasional" pada akhir sila kelima.
Perubahan-perubahan ini disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai bagian dari UUD 1945.
Dengan demikian, Piagam Jakarta tidak lagi menjadi rancangan Pembukaan UUD 1945, tetapi menjadi dokumen historis yang menjadi sumber inspirasi bagi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Peran NU dalam Perubahan Piagam Jakarta
Peran NU dalam perubahan Piagam Jakarta dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek teologis.
Dari aspek politik, NU memiliki visi kebangsaan yang inklusif dan toleran terhadap keragaman bangsa Indonesia.
NU menyadari bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara yang dihuni oleh berbagai suku dan agama yang harus hidup rukun dan damai.
Oleh karena itu, NU bersedia mengorbankan kepentingan kelompoknya.