Jumlah total anggarannya mencapai Rp 28 triliun.
Pemerintah kemudian menargetkan pembangunan 1.200 tower BTS 4G dalam jangka waktu 2020-2021 dengan anggaran yang digelontorkan mencapai Rp 10 triliun.
“Tapi sampai akhir 2021 barangnya enggak ada,” ujar Mahfud.
Tenggat waktu pun diperpanjang, mulai dari Desember 2021 hingga Maret 2023 dengan target 4.800 tower BTS 4G.
Namun, ketika BPKP mengecek keberadaan tower hasil proyek itu tidak ada yang dijadikan sampel.
Sebanyak 985 yang ada pun tak ubahnya tiang mati.
Kejaksaan Agung pun melakukan penghitungan dugaan kerugian negara.
Pada awalnya, mereka hanya menemukan kerugian sekitar Rp 1 triliun.
Ketika BPKP turun tangan dan memeriksa mulai dari tahap perencanaan, penunjukan konsultan, penunjukan barang, dan lainnya, ditemukan kerugian negara yang lebih besar.
“Mark-up dan sebagainya itulah, itu yang kemudian dijadikan alasan (kerugian mencapai Rp 8,32 triliun),” kata Mahfud.
Awal mengusut kasus ini, penyidik Kejagung menduga kerugian keuangan negara yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 1 triliun.
Namun, berdasarkan penyidikan lebih lanjut serta perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dugaan kerugian keuangan negara mencapai Rp 8 trilun.
"Berdasarkan semua yang kami lakukan dan berdasarkan bukti yang kami peroleh, kami telah menyampaikan kepada Pak Jaksa Agung. Kami menyimpulkan terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp 8.032.084.133.795," kata Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin (15/5/2023).
Menurut Yusuf, penghitungan kerugian keuangan negara tersebut disimpulkan usai pihak BPKP melakukan sejumlah pemeriksaan.
Pemeriksaan yang dilakukan yakni audit terkait dana dan dokumen, klarifikasi kepada pihak terkait, serta melakukan observasi fisik bersama sejumlah tim ahli.
"Kerugian keuangan negara tersebut iterdiru dari 3 hal, biaya untuk kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark-up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun," ucap dia.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR