Usaha Pangeran Notokusuma Bantu Inggris Gulingkan HB II Berbuah Manis, Mataram Islam Pun Pecah Jadi Empat

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

Dengan lahirnya Kadipaten Pakualaman, resmi sudah, Mataram Islam pecah jadi empat: Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kadipaten Pakualaman.
Dengan lahirnya Kadipaten Pakualaman, resmi sudah, Mataram Islam pecah jadi empat: Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kadipaten Pakualaman.

Setelah Geger Sepehi, Mataram Islam pecah jadi empat: Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kadipaten Pakualaman.

Intisari-Online.com -Salah satu dampak dari Geger Sepehi adalah munculnya Kadipaten Pakualaman.

Dengan munculnya kadipaten baru bentukan Inggris ini, resmi sudah, Mataram Islam pecah jadi empat.

Sebelumnya sudah ada Kasunanan Surakarta, lalu Kesultanan Yogyakarta, lalu Kadipaten Mangkunegara, dan yang terakhir adalah Kadipaten Pakualaman.

Munculnya Kadipaten Pakualam tak bisa dilepaskan dari sosok Pangeran Notokusumo, Paku Alam I.

Nama ini termasuk sosok yang muncul dalam ontran-ontran Geger Sepehi.

Pangeran Notokusumo ternyata punya tugas khusus dari Thomas Stamford Raffless untuk membujuk raja Kesultanan Yogyakarta, Hamengkubuwono II, untuk melunakkan hatinya.

Kita tahu, HB II adalah sosok yang begitu keras terhadap keberadaan bangsa asing, entah Inggris entah Belanda.

Pangeran Notokusumo juga disebut mengirimkan pasukannya membantu pasukan Inggris menyerbu keraton Yogyakarta.

Atas jasanya, Pangeran Notokusumo mendapat hadiah dari Raffless: Kadipaten Pakualaman.

Kadipaten Pakualaman alias Nagarai Pakualaman merupakan negara dependen yang berbentuk kerajaan.

MengutipDpad.jogjaprov.go.id, kedaulatandan kekuasaan Pakualaman diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk bersama-sama negara dependen.

Kadipaten Pakualaman berdiri pada 17 Maret 1813, ketika Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan Hamengku Buwono I, dinobatkan oleh Thomas Raffles sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I.

Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran di Surakarta.

Pangeran Notokusumo sejatinya punya hubungan yang dekat dengan HB II yang adalah kakaknya sendiri.

Tapi hubungan itu memburuk setelah Pangeran Notokusumo dituduh terlibat dalam pemberontakan Raden Ronggo dari Madiun.

Akibatnya, Pangeran Notokusumo dibuang ke Batavia.

Lalu datang Inggris menggantikan posisi Belanda sebagai penguasa di Hindia Belanda.

Untuk mengambil hati HB II, Inggris kemudian meminta bantuan Pangeran Notokusumo yang sekarang sudah tidak lagi menjadi tawanan.

Masih menurut sumber yang sama, setidaknya ada dua versi terkait peran Pangeran Notokusumo dalam persoalan internal Keraton Yogyakarta.

Versi I:

Pangeran Notokusumo menemui HB II untuk menyampaikan proposal dari pemerintah kolonial Inggris untuk menyerahkan tahta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danureja II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesti kepada Sultan.

Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan.

Sultan menyambut sendiri kedatangan Raffles ke Yogyakarta dan mengadakan jamuan kenegaraan.

Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak berhenti.

Kondisi yang berbalik seratus delapan puluh derajat ini menyebabkan Adipati Anom menjadi ketakutan.

Kali ini konflik turut menyeret Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagaran.

Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh karena dianggap ikut memengaruhi Adipati Anom, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten Tan Jin Sing menemui John Crawford, residen Inggris untuk Yogyakarta.

Dari hasil pertemuannya Crawford dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom diangkat lagi menjadi sultan.

Dalam surat itu pula Notokusumo diusulkan menjadi Pangeran Merdika.

Akhirnya diusulkan Raffles datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan untuk berperang.

Versi II:

Segera setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Perancis kepada Inggris, Hamengkubuwana II kembali mengambil alih tahta dari putranya.

Kepada pemerintah Inggris Sultan mengusulkan beberapa tuntutan, di antaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya Pangeran Natakusuma dan putranya Natadiningrat.

Oleh Raffles HB II dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya.

Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi.

Sebaliknya HB II diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan.

Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, HB II segera mengadakan perundingan dengan Sunan Pakubuwono IV untuk melepaskan diri dari Inggris.

HB II secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran pasukannya dan justru memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata.

Natakusuma dan Kapten Tan Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.

Sebagai akibatnya, pada18 Juni 1812, pasukan Inggris bersenjata lengkap dipimpin Admiral Gillespie mengepung Kraton Yogyakarta.

Pasukan Inggris juga dibantu oleh Legiun Mangkunegaran di bawah komando Pangeran Prangwedana.

Gillespie segera mengirim ultimatum kepada HB II untuk segera menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Natakusuma menjadi pangeran mardika.

Sultan HB II dengan tegas enggan memenuhi ultimatum.

Sebuah versi lain mengemukakan mulai 18 Juni 1812 istana mulai dihujani meriam.

Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir, istana dapat ditaklukkan pada 20 Juni 1812.

Versi lain berpendapat mulai 20 Juni 1812 keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan HB II untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi HB III dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta.

Akhirnya HB II ditangkap dan dibuang ke Pulau Penang dan putra mahkotanya RM Suryo dinobatkan sebagai raja penuh bergelar Sultan Hamengku Buwono III (HB III).

Akibat pertempuran tersebut, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat harus menerima konsekuensi, antara lain:

- Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.

- Angkatan bersenjata Kasultanan Ngayogyakarta diperkecil menjadi hanya beberapa kesatuan tentara keamanan keraton saja.

- Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, saudara tiri HB II yang berjasa mendukung Inggris, dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Paku Alam I.

Berdasarkan point (3) di ataslah, kemudian Pangeran Notokusumo dinobatkan menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I pada 29 Juni 1813, menyusul Political Contract 17 Maret1813 antara Residen Inggris John Crawford dan Pangeran Notokusumo, yg isinya antara lain:

- BPH Notokusumo diangkat sebagai Pangeran Mardika di bawah Kerajaan Inggris dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam I

- Kepadanya diberikan tanah dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan hak tahta yang turun temurun.

- Tanah yang diberikan meliputi sebuah kemantren di dalam kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan daerah Karang Kemuning (selanjutnya disebut Kabupaten Adikarto) yang terletak di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.

Begitulah, karena jasanya terhadap Inggris, Pangeran Notokusumo mendapatkan imbalannya, begitu Kadipaten Pakualaman.

Artikel Terkait