Pada Juli 1946, ia menjadi utusan Nederlands Nieuw Guinea (nama resmi Papua saat itu) dan satu-satunya orang asli Papua yang menghadiri Konferensi Malino di Sulawesi Selatan.
Konferensi ini membahas pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil perundingan antara Indonesia dan Belanda.
Frans Kaisiepo menolak usaha Belanda untuk memisahkan Papua dari Indonesia dan memasukkannya ke dalam Negara Indonesia Timur (NIT), salah satu negara bagian dalam RIS.
Ia juga menolak nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea karena dianggap merendahkan. Ia mengusulkan nama Irian, yang berasal dari bahasa Biak yang berarti “tempat yang panas”.
Nama ini kemudian dipolitisasi oleh kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari “Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands”.
Frans Kaisiepo mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak pada tahun 1946, dengan Lukas Rumkorem sebagai ketua.
Partai ini bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan penyatuan Papua dengan Indonesia.
Frans Kaisiepo juga menolak menjadi pemimpin delegasi Nederlands Nieuw Guinea dalam Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia pada tahun 1949, karena ia merasa Belanda berusaha mendikte dirinya.
Karena sikapnya yang keras terhadap Belanda, Frans Kaisiepo dipenjarakan dari tahun 1954 hingga 1961.
Setelah bebas, ia mendirikan partai baru bernama Irian Sebagian Indonesia (ISI), yang juga berorientasi pada integrasi Papua dengan Indonesia.
Ia juga mendukung Trikora, yaitu komando militer yang dibentuk oleh Presiden Soekarno pada tahun 1961 untuk merebut kembali Papua dari Belanda.
Baca Juga: Sosok Sersan Teppy, Mantan Tentara Belanda yang Ikut Rebut Papua dari Tangan Belanda
Setelah penyerahan kedaulatan Papua dari Belanda ke Indonesia pada tahun 1963, Frans Kaisiepo ditunjuk sebagai Gubernur Provinsi Papua keempat pada tahun 1964.
Ia menjabat hingga tahun 1973.
Selama masa jabatannya, ia berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR