Intisari-online.com - Sosok Sersan Rolland Joseph Teppy, seorang bekas anggota Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) yang lahir di Manado.
Dia tidak mau menerima penjajahan Belanda di negerinya dan menjadi salah satu pejuang Merah-Putih.
Setelah KNIL dibubarkan pada pertengahan 1950, Teppy tinggal di Papua, yang saat itu belum diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sesuai dengan kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949.
Teppy tidak tahan melihat Belanda terus menguasai Papua dan menganiaya rakyatnya.
Teppy lalu membentuk gerakan bawah tanah di kota Hollandia (sekarang Jayapura) untuk melawan otoritas Belanda.
Dia merekrut dan melatih para pemuda Papua yang ingin bergabung dengan perjuangannya.
Teppy juga berkomunikasi dengan radio Indonesia untuk mendapatkan informasi dan dukungan.
Namun, perjuangan Teppy tidak lancar.
Dia beberapa kali ditangkap dan dipenjara oleh Belanda karena dianggap sebagai pemberontak.
Dia juga harus bersembunyi dan berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran musuh.
Pada tahun 1962, ketika Indonesia mulai melaksanakan operasi militer untuk merebut Papua, Teppy kembali beraksi.
Baca Juga: Menguak Peristiwa Bersejarah Ketika Papua Jadi Medan Perang Dunia II Antara Jepang Vs Amerika
Dia bersama anak-anaknya dan beberapa rekannya mencuri senjata dari gudang Belanda dan berencana untuk bergabung dengan pasukan payung Indonesia yang diterjunkan di beberapa daerah.
Sayangnya, rencana Teppy gagal. Dia tertangkap lagi oleh Belanda bersama dua orang lainnya di daerah Sentani.
Dia mengaku bahwa dia telah disesatkan oleh siaran radio Indonesia dan ingin mengikuti perintah Sukarno.
Teppy kemudian dibawa ke penjara Hollandia dan tidak diketahui nasibnya selanjutnya.
Apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, tidak ada yang tahu pasti.
Teppy adalah salah satu contoh dari para mantan tentara Belanda yang berpindah haluan dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Papua dari tangan Belanda.
Dia adalah seorang patriot yang berani mengorbankan segalanya demi tanah airnya.
Perjuangan Teppy dan para pejuang Papua lainnya tidak sia-sia.
Pada tahun 1962, Belanda akhirnya menyetujui pengalihan Papua kepada Indonesia secara bertahap melalui Perjanjian New York.
Pemerintahan sementara dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, ditangani oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Pada tanggal 1 Mei 1963, Papua resmi kembali ke pangkuan Indonesia.
Baca Juga: Tak Takut Ancaman KKB Papua, Susi Pudjiastuti: Saya Siap Berperang Demi NKRI!
Namun, kembalinya Papua ke Indonesia tidak berarti berakhirnya konflik dan ketegangan di wilayah itu.
Masih ada sebagian orang Papua yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.
Mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai simbol perlawanan mereka.
Untuk menentukan nasib akhir Papua, Indonesia kemudian mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969.
PEPERA adalah hasil dari Perjanjian New York yang menyatakan bahwa rakyat Papua harus diberi kesempatan untuk memilih antara tetap bersama Indonesia atau memisahkan diri.
Namun, PEPERA menuai banyak kontroversi dan kritik. Banyak pihak yang menilai bahwa PEPERA tidak demokratis dan manipulatif.
Hanya sekitar 1.000 orang yang dipilih sebagai perwakilan rakyat Papua untuk ikut dalam PEPERA.
Mereka dipaksa untuk memilih tetap bersama Indonesia dengan ancaman kekerasan dan intimidasi.
Hasilnya, PEPERA menyatakan bahwa rakyat Papua memilih untuk tetap bersama Indonesia dengan suara bulat.
Namun, hasil ini tidak diakui oleh sebagian orang Papua dan komunitas internasional.
Mereka menuntut agar dilakukan referendum yang adil dan jujur untuk menentukan nasib Papua.