Intisari-online.com - Banyak yang mengira Keraton Surkarta atau Keraton Solo selalu pro dengan penjajah Belanda.
Padahal faktanya tidak seperti itu. Pada masa Pakubuwono IV misalnya. Keraton Solo berjuang keras melawan Belanda. Salah satunya dalam rangka menegakkan Syariat Islam di wilayah Surakarta.
Dengan Masjid Agung sebagai basis reformasi, Sri Sunan membasmi praktip korup dan perilaku maksiat sejumlah pejabat keraton Surakarta.
Dia melarang minuman keras, candu, dan mewajibkan para abdi dalem yang beragama Islam untuk sholat 5 waktu. Kompeni pun kepanasan. Mereka menghasut Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegara untuk ikut mengepung Keraton Solo.
Peristiwa ini kemudian dicatat sejarah sebagai Peristiwa Pakepung 1790.
Berawal dari Raja Baru
Cerita bermula Pada tahun 1788 saat Keraton Surakarta mempunyai raja baru yakni Sri Susuhunan Pakubuwono IV.
Nama asli beliau adalah Raden Mas Subadya. Ia dijuluki sebagai Sunan Bagus karena berwajah tampan dan naik takhta dalam usia muda, yakni 20 tahun.
Berkebalikan dengan ayahnya yang kurang cakap dalam memerintah, PB IV adalah seorang pemimpin tangguh yang penuh cita-cita dan keberanian.
Sudah begitu dia adalah seorang raja Mataram yang alim, tawadhu (merendah), sayang kepada rakyat dan dekat dengan para ulama. Ia berpegang teguh pada syariah Islam, seperti leluhurnya Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Sri Sunan atau PB IV sangat membenci Belanda. Menurutnya si penjajah itulah yang membuat kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi yakni Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran.
Selain itu dia juga prihatin dengan kondisi keraton surakarta yang mengalami degradasi moral.
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR