Intisari-online.com - Keraton Surakarta merupakan salah satu tempat bersejarah di Solo.
Keraton Surakarta telah berdiri pada masa Mataram Islam, dan telah melewati berbagai peristiwa penting.
Keraton Surakarta dibangun setelah peristiwa geger pecinan yang membuat Keraton Surakarta yang sebelumnya di Kartasura pindah ke Surakarta.
Keraton Surakarta di bangun olehSusuhan Pakubuwono II atau PB II pada 1744.
Sementara geger pecinan terjadi pada tahun 1743.
Meski demikian, Keraton Surakarta masih berdiri hingga saat ini dan masih menjadi tempat tinggal keturunan Keraton Surakarta.
Namun, sejarah berdirinya Keraton Surakarta dikaitkan dengan kemunduran kerajaan Mataram Islam di Surakarta.
Kisah berdirinya Keraton Surakarta dimulai saat Amangkurat II naik takhta.
Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah Wanakerta yang kemudian disebut dengan Kartasura.
Pemindahan ini disebabkan oleh adanya pemberontakan yang dipimpin oleh Trunojoyo.
Tahun 1743 terjadi pemberontakan yang dikenal dengan sebutan geger pecinan.
Baca Juga: Geger Keraton Solo, Ada Keributan Antar Ningrat Hingga Todongan Pistol, Ini Pemicunya?
Geger Pecinan yang dipelopori oleh penduduk Tionghoa menghancurkan Keraton Kartasura.
Paku Buwono II yang menjadi sasaran pemberontak karena berpihak kepada Belanda.
Dia pun kemudian terpaksa harus melarikan diri ke Ponorogo.
Setelah kembali ke Kartasura, Pakubuwono II memerintahkan pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala.
Sungai Bengawan Solo dijadikan alasan karena bisa dimanfaatkan sebagaipenghubung untuk memperlancar aktivitas ekonomi, sosial, dan politik kerajaan.
Desa Sala dipilih karena beberapa faktor, tetapi utamanya karena posisinya yang dekat dengan Sungai Bengawan Solo.
Kemudian dibangunlah Keraton Surakarta di kota Sala atau kini disebut Solo.
Keraton Surakarta kemudian selesai di bangun dan ditempati pada tahun 1746.
Kemudian Paku Buwono II mendiami Keraton Surakarta sampai meninggalnya tahun 1749.
Kemudian pada tahun berikutnya pada masa pemerintahan Paku Buwono III terjadi pemberontakan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.
Menyebabkan Keraton Surakarta terbelah menjadi dua kubu.
Baca Juga: Kaesang Pangarep dan Erina Gudono Kenakan Busana Basahan Adat Solo, Ini Ciri Khas hingga Maknanya
Perlawanan meluas di seluruh wilayah Mataram hingga Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Mereka mampu memenangkan pertempuran di Juwana, Grobogan dan sempat membakar sejujlah rumah dan mengancam keraton.
Hingga akhirnya pemberontakan berakhir dengan adanya perjanjian Giyanti.
Isi dari perjanjian Giyanti mengatur tentang pembagian wilayah dan kedudukan Mataram menjadi 2, yaitu Kasunanan dan Kasultanan.
Mangkubumi memperoleh gelar Sultan dan memerintah wilayah Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Kasunanan Surakarta tetap dipimpin oleh Pakubuwono.
Sementara Raden Mas Said kemudian mendapatkan wilayah kadipaten yang berpusat di Puro Mangkunegaran.
Raden Mas Said menjadi Adipati dengan gelar Adipati Arya Mangkunegara atau Mangkunagoro I.