Intisari-online.com - Salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal akan kekayaan budaya dan tradisinya adalah Bali.
Di antara berbagai tradisi yang menarik minat wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri, adalah tradisi Mekare-Kare atau Perang Pandan.
Apa sebenarnya tradisi Mekare-Kare dan bagaimana cara pelaksanaannya?
Berikut ini penjelasannya.
Pengertian Tradisi Mekare-Kare
Tradisi Mekare-Kare adalah sebuah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.
Tradisi ini sering disebut dengan nama Perang Pandan karena menggunakan senjata berupa daun pandan berduri yang diikat menjadi sebuah gada.
Selain itu, peserta juga membawa perisai dari rotan untuk melindungi diri.
Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Indra, dewa perang dalam mitologi Hindu.
Serta para leluhur yang telah berjuang melawan Maya Denawa, seorang raja keturunan raksasa yang sewenang-wenang dan melarang rakyatnya menyembah dewa-dewa.
Tradisi ini juga merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah, yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.
Baca Juga: Termasuk Festival Lopis Raksasa, Inilah Tradisi Syawalan di Pekalongan
Kapan dan Dimana Tradisi Mekare-Kare Dilakukan?
Tradisi Mekare-Kare dilakukan setiap tahun pada bulan kelima dalam kalender khusus Desa Tenganan Pegringsingan.
Biasanya jatuh pada sekitar bulan Juni dalam kalender Masehi.
Tradisi ini dilaksanakan selama dua hari berturut-turut, dengan lokasi yang berbeda.
Hari pertama, tradisi Mekare-Kare dihelat di Petemu Kaja, yaitu sebuah lapangan di sebelah utara desa.
Hari kedua, tradisi Mekare-Kare dilanjutkan di depan Bale Agung, yaitu sebuah bangunan suci di tengah desa.
Kedua lokasi ini dipilih karena diyakini sebagai tempat-tempat yang sakral dan memiliki energi positif.
Siapa Saja yang Boleh Mengikuti Tradisi Mekare-Kare?
Tradisi Mekare-Kare hanya boleh diikuti oleh laki-laki yang sudah menginjak usia remaja hingga dewasa dan berasal dari Desa Tenganan.
Peserta harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti tidak sedang sakit, tidak sedang berduka cita, tidak sedang berhutang, dan tidak sedang melakukan pelanggaran adat.
Peserta juga harus melakukan persiapan fisik dan mental sebelum mengikuti tradisi ini.
Baca Juga: Telingaan Aruu, Tradisi Memanjangkan Telinga yang Mulai Punah di Suku Dayak
Mereka harus menjalani ritual-ritual seperti mandi suci, puasa, meditasi, dan doa.
Selain itu, mereka juga harus mempersiapkan properti yang dibutuhkan, seperti daun pandan berduri, rotan, kain tenun khas Desa Tenganan (Pegringsingan), dan ikat kepala (Udeng).
Bagaimana Proses Pelaksanaan Tradisi Mekare-Kare?
Tradisi Mekare-Kare dimulai dengan acara mengelilingi desa sambil membawa sesaji sebagai bentuk memohon keselamatan dan kesuksesan kepada Dewa Indra dan para leluhur.
Setelah itu, peserta berkumpul di lapangan untuk melakukan ritual minum tuak (arak) yang dituang ke daun pisang sebagai gelasnya.
Peserta kemudian saling menuangkan tuak ke daun pisang peserta lain sampai dikumpulkan menjadi satu dan dibuang ke area lapangan.
Tujuan dari ritual ini adalah untuk menunjukkan rasa persaudaraan dan kesetaraan antara peserta.
Setelah ritual minum tuak selesai, barulah tradisi Mekare-Kare dimulai.
Seorang pemimpin adat akan memberikan aba-aba kepada dua peserta yang bersiap-siap untuk bertarung.
*Artikel ini dibuat deng bantuan Ai