Namun, serangan itu gagal karena VOC memiliki persenjataan yang lebih canggih dan pertahanan yang lebih kuat.
Pasukan Dipati Ukur mengalami banyak korban jiwa dan terpaksa mundur. Kegagalan ini membuat Sultan Agung sangat marah dan kecewa.
Ia mencopot jabatan Dipati Ukur dan memerintahkan untuk menangkap dan menghukum matinya.
Pemberontakan terhadap Mataram
Dipati Ukur tidak mau menyerah begitu saja. Ia sadar bahwa hidupnya sudah di ujung tanduk jika ia tetap tunduk kepada Mataram.
Ia pun memutuskan untuk melepaskan diri dari Mataram dan melakukan pemberontakan. Bersama pasukannya dia bersembunyi di Gunung Pongporang, sebuah gunung di wilayah Priangan.
Dipati Ukur berharap mendapat dukungan dari para umbul-umbul (kepala daerah) di Priangan.
Namun, empat umbul-umbul yang menjadi pengikutnya, yaitu umbul-umbul Sukakerta, Sindangkasih, Cihaurbeti, dan Indihiang Galunggung, menolak rencana pemberontakan itu.
Mereka khawatir akan mendapat murka dari Sultan Agung jika ikut memberontak. Mereka pun meninggalkan Gunung Pongporang dan melaporkan keberadaan Dipati Ukur kepada Sultan Agung.
Sultan Agung kemudian mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso untuk mencari dan menumpas pasukan Dipati Ukur.
Setelah beberapa kali bertempur, akhirnya Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung, sebuah gunung di dekat Cililin, Kabupaten Bandung Barat, pada tahun 1632.
Ia kemudian dibawa ke Mataram dan dihukum mati oleh Sultan Agung.
Baca Juga: Mengapa Kerajaan Mataram Islam Dibagi Dua Usai Perjanjian Giyanti? Semata karena Polah VOC?
KOMENTAR