Intisari-online.com - Operasi Trikora adalah operasi militer yang dilancarkan Indonesia untuk melawan pendudukan Belanda di Irian Barat (Papua).
Operasi ini dimulai pada bulan Desember 1961 dan berakhir pada bulan Agustus 1962.
Operasi ini berakhir dengan kekalahan militer Indonesia di beberapa daerah, tetapi berhasil memperoleh keuntungan politik bagi Indonesia.
Belanda akhirnya menyerahkan Irian Barat kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia.
Awal mulaOperasi Trikora
Operasi Trikora terjadi karena konflik antara Indonesia dengan Belanda terkait perebutan Irian Barat.
Masalah ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 2 November 1949 terkait rencana pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia oleh Kerajaan Belanda.
Masih terdapat satu persoalan penting yang belum disepakati, yakni mengenai status Irian Barat.
Baik Indonesia maupun Belanda merasa berhak atas wilayah di bagian timur Kepulauan Nusantara itu.
Lantaran tidak dicapai titik temu, KMB memutuskan bahwa masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu setahun ke depan.
Namun, hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi.
Baca Juga: Berani Lawan VOC Belanda, Ini Alasan Sultan Agung Diangkat Jadi Pahlawan Nasional
Belanda ternyata ingin menjadikan Irian Barat sebagai negara boneka.
Pada Februari 1961, Belanda mulai membentuk parlemen. Lalu, pada 19 Oktober 1961, dibentuk Komite Nasional Papua. Kekuatan militer Papua juga turut dibangun.
Departemen Penerangan RI merilis buku Irian Barat Daerah Kita (1962) yang di dalamnya terdapat bukti bahwa Belanda pernah melakukan “Pameran Bendera” (Vlagertoon) yang ternyata disertai kapal-kapal perang pada 4 April 1960.
Melihat hal ini, Presiden Sukarno dan para pejabat tinggi Indonesia tidak tinggal diam. Pada 6 Maret 1961, dibentuk Korps Tentara Kora-1.
Sebagai panglima komandonya adalah Mayor Jenderal Soeharto. Nama kesatuan ini beberapa kali mengalami perubahan, dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) hingga menjadi Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Tanggal 11 Desember 1961, pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan).
Tiga hari setelah itu dilaksanakan sidang yang melahirkan Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno.
Isi dan Tujuan Operasi Trikora
Tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengutarakan maksud Trikora melalui pidatonya yang diserukan di Yogyakarta.
Trikora adalah singkatan dari Tri Komando Rakyat yang terdiri dari tiga perintah utama, yaitu:
Menggagalkan negara boneka Papua yang dibentuk oleh Belanda.
Baca Juga: Mengungkap Buku Max Havelaar, Novel Satir Eduard Douwes Dekker yang Mengguncang Penjajahan Belanda
Mengibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat sebagai lambang kedaulatan Indonesia.
Bersiap-siap untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan bangsa.
Tujuan operasi Trikora adalah untuk merebut kembali Irian Barat dari Belanda dan menyatukannya dengan wilayah Indonesia sebagai bagian dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Meskipun operasi Trikora berhasil menimbulkan kerugian bagi Belanda, Indonesia juga mengalami beberapa kegagalan dan korban.
Salah satu kegagalan yang paling menyedihkan adalah operasi Mandala yang dilakukan pada 15 Januari 1962 oleh pasukan AU (Angkatan Udara) yang dipimpin oleh Marsekal Omar Dhani.
Operasi ini gagal mendaratkan pasukan di Biak karena disambut tembakan dari pasukan Belanda. Akibatnya, sekitar 150 pasukan gugur termasuk Komodor Udara Yos Sudarso yang menjadi pahlawan nasional.
Korban jiwa dari operasi Trikora diperkirakan mencapai 214 prajurit Indonesia gugur dan tidak diketahui berapa jumlah korban tewas dari pihak Belanda dan relawan Papua.
Operasi Trikora juga menimbulkan ketegangan internasional antara Indonesia dengan Belanda dan sekutunya seperti Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Akhir Operasi Trikora
Operasi Trikora berakhir dengan perjanjian New York yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1962.
Perjanjian ini mengatur bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada UNTEA yang akan mengelola wilayah tersebut selama tujuh bulan sebelum diserahkan kepada Indonesia.
Perjanjian ini juga mengatur bahwa akan dilakukan penentuan pendapat rakyat (Pepera) untuk menentukan nasib akhir Irian Barat.
Pada 1 Mei 1963, UNTEA secara resmi menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
Pada tanggal yang sama, bendera Merah Putih dikibarkan di Irian Barat sebagai lambang kedaulatan Indonesia.