Kisah Mataram Islam Menyerang Bali, Kegagalan Sultan Agung Mengislamkan Pulau Dewata

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Ilustrasi - Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Intisari-online.com - Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah sultan ketiga yang berkuasa di Kesultanan Mataram.

Sultan Agung naik takhta sebagai sultan Mataram pada tahun 1613 M. Ia memerintah hingga tahun 1645 M.

Ia menggantikan posisi dari Pangeran Martapura. Sultan Agung saat menjadi raja masih berusia 20 tahun.

Sultan Agung adalah penguasa yang berkomitmen untuk mengembangkan agama Islam di pulau Jawa.

Latar belakang pendidikan yang didapat beliau adalah pengetahuan agama yang dipelajari dari beberapa wali.

Wali yang sangat mempengaruhi dan membantu Sultan Agung adalah Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga menjadi guru dan dihormati sebagai penasehat atau pembimbing Sultan Agung di bidang agama.

Sultan Agung terkenal sebagai raja Mataram yang gesit, pintar, dan taat agama.

Beliau juga dikenal sebagai raja yang memiliki jiwa pejuang dan penakluk.

Beliau berhasil menundukkan sebagian besar wilayah Jawa, mulai dari Karawang di barat hingga Pasuruan di timur.

Salah satu wilayah yang menjadi incaran Sultan Agung adalah Bali. Bali merupakan pulau yang memiliki keindahan alam dan budaya yang menawan.

Baca Juga: Kematian Sultan Agung Dan Masa-masa Kemunduran Mataram Islam

Bali juga merupakan pusat perdagangan antara Jawa dan Nusantara timur. Selain itu, Bali juga memiliki nilai strategis karena berada di jalur pelayaran internasional.

Namun, alasan utama Sultan Agung ingin menaklukkan Bali adalah karena beliau ingin menyebarkan agama Islam ke pulau tersebut.

Bali merupakan salah satu wilayah yang masih mempertahankan agama Hindu di tengah-tengah perkembangan Islam di Nusantara.

Sultan Agung merasa berkewajiban untuk mengislamkan Bali sebagai bagian dari dakwahnya.

Perang Klungkung

Untuk mewujudkan ambisinya, Sultan Agung mempersiapkan ekspedisi militer ke Bali pada tahun 1628 M.

Beliau menyiapkan pasukan sebanyak 10.000 orang yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna. Pasukan Mataram mendarat di daerah Klungkung, salah satu kerajaan Hindu di Bali.

Kerajaan Klungkung saat itu dipimpin oleh Raja Dewa Agung Jambe I. Raja ini merupakan keturunan dari Raja Gelgel, kerajaan Hindu terbesar dan tertua di Bali.

Raja Dewa Agung Jambe I tidak mau tunduk kepada Sultan Agung dan bersiap untuk melawan pasukan Mataram.

Perang antara Mataram dan Klungkung pun terjadi. Perang ini dikenal dengan nama Perang Puputan Klungkung karena kedua belah pihak bertempur habis-habisan tanpa ada kompromi atau negosiasi.

Perang ini berlangsung selama beberapa bulan dengan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.

Pasukan Mataram mengalami kesulitan untuk menembus pertahanan Klungkung yang kuat dan gigih.

Baca Juga: Kisah Pilu Raden Martapura, Pewaris Sah Takhta Mataram yang Berkuasa Satu Hari Lalu Diganti Sultan Agung

Pasukan Klungkung juga tidak mau menyerah meskipun dalam keadaan terdesak dan terkepung.

Akhirnya, pada tahun 1629 M, perang berakhir dengan kekalahan Mataram.

Tumenggung Wiraguna tewas dalam pertempuran dan pasukan Mataram mundur dengan terpaksa.

Sultan Agung sangat kecewa dengan hasil perang ini dan merasa malu karena gagal mengislamkan Bali.

Perang Buleleng

Sultan Agung tidak menyerah dengan kegagalannya di Klungkung. Beliau masih berambisi untuk menaklukkan Bali.

Pada tahun 1633 M, beliau kembali mengirim pasukan ke Bali dengan jumlah yang lebih besar, sekitar 20.000 orang. Pasukan ini dipimpin oleh Tumenggung Suradipati.

Pasukan Mataram kali ini mendarat di daerah Buleleng, salah satu kerajaan Hindu di Bali bagian utara.

Kerajaan Buleleng saat itu dipimpin oleh Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Raja ini merupakan saudara dari Raja Dewa Agung Jambe I dari Klungkung.

Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti tidak mau tunduk kepada Sultan Agung dan bersiap untuk melawan pasukan Mataram.

Perang antara Mataram dan Buleleng pun terjadi. Perang ini juga dikenal dengan nama Perang Puputan Buleleng karena kedua belah pihak bertempur habis-habisan tanpa ada kompromi atau negosiasi.

Perang ini berlangsung selama beberapa bulan dengan korban jiwa yang banyak dari kedua belah pihak.

Pasukan Mataram mengalami kesulitan untuk menembus pertahanan Buleleng yang kuat dan gigih.

Pasukan Buleleng juga tidak mau menyerah meskipun dalam keadaan terdesak dan terkepung.

Akhirnya, pada tahun 1634 M, perang berakhir dengan kekalahan Mataram. Tumenggung Suradipati tewas dalam pertempuran dan pasukan Mataram mundur dengan terpaksa.

Sultan Agung kembali kecewa dengan hasil perang ini dan merasa malu karena gagal mengislamkan Bali.

Artikel Terkait