Puncak dari kemunduran Mataram Islam setelah kematian Sultan Agung adalah Perjanjian Giyanti, Mataram pecah jadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Intisari-Online.com -Mataram Islam menunjukkan tanda-tanda kemunduran setelah mangkatnya Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Puncaknya adalah ketika Mataram Islam pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Di zaman Sultan Agung, Mataram berhasil memperluaswilayah kekuasaannya hingga mencakup hampir seluruh Pulau Jawa dan sebagian Sumatera.
Sultan Agung juga dikenal sebagai raja yang berani melawan Belanda yang ingin menguasai Nusantara.
Namun, kejayaan Sultan Agung dan Mataram tidak bertahan selamanya.
Setelah dia wafat pada tahun 1645, Mataram mengalami masa-masa kemunduran yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran kejayaan Sultan Agung:
Perang saudara
Setelah kematian Sultan Agung, terjadi perselisihan antara putra-putranya yang berebut tahta.
Hal ini memicu perang saudara yang melemahkan kekuatan Mataram dan membuat rakyat menderita.
Perang saudara ini berlangsung hingga tahun 1677, ketika Sunan Amral berhasil mengalahkan saudara-saudaranya dan menjadi raja Mataram.
Campur tangan Belanda
Belanda yang melihat kesempatan dari perang saudara Mataram, mencoba memanfaatkan situasi untuk mengintervensi urusan dalam negeri Mataram.
Belanda memberikan bantuan militer dan finansial kepada salah satu pihak yang bertikai, dengan syarat mendapatkan hak monopoli perdagangan dan konsesi wilayah.
Hal ini membuat Mataram semakin tergantung pada Belanda dan kehilangan kedaulatan.
Bencana alam dan wabah penyakit
Selain faktor politik, Mataram juga menghadapi faktor alam yang tidak menguntungkan.
Pada tahun 1679, terjadi letusan Gunung Merapi yang menyebabkan kerusakan besar pada wilayah Mataram.
Selain itu, pada tahun 1680-an, terjadi wabah penyakit seperti cacar dan kolera yang menimbulkan banyak korban jiwa.
Pemberontakan rakyat
Akibat dari faktor-faktor di atas, rakyat Mataram merasa tidak puas dengan pemerintahan yang korup, otoriter, dan tidak adil.
Rakyat mulai memberontak terhadap penguasa Mataram dan mendukung pihak-pihak lain yang menjanjikan perubahan.
Salah satu pemberontakan terbesar adalah Pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1674-1681, yang berhasil merebut sebagian besar wilayah timur Jawa dari Mataram.
Perjanjian Giyanti
Bisa dibilang, puncak dari kemunduran Mataram Islam adalah terjadinya Perjanjian Giyanti pada 1755.
Dikutip dari situsKebudayaan.jogjakota.go.id, awal mula kisah perpecahan kerajaan di Jawa ini bermula dari pertikaian antarkeluarga yang disebabkan politik adu domba VOC.
Konflik saudara tersebut melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.
Alasan utamanya ialah bahwa ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV.
Oleh karenanya, Arya Mangkunegara-lah yang seharusnya menjadi raja Mataram meneruskan Amangkurat IV.
Namun, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC akhirnya berimbas harus diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia.
VOC pun kemudian menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabusuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dan bergelar Paku Buwana II.
Ketika Pakubuwana II memangku tampuk kepemimpinan Mataram Islam, ia memindahkan ibu kota kerajaan tersebut dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Febuari 1745.
Perpindahan tersebut terjadi setelah Keraton Kartasura hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742 dan mengakibatkan istana Mataram Islam di Kartasura rusak.
Hal ini semakin memperkuat Raden Mas Said ingin merebut tahta Mataram Islam dari pamannya Pakubuwana II.
Karena memiliki tujuan yang sama, akhirnya Raden Mas Said bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut tahta Mataram Islam dari Pakubuwana II yang dibantu oleh VOC.
Pada 20 Desember 1749 Pakubuwono II wafat, kekosongan pemerintahan ini kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Mangkubumi untuk mengangkat dirinya sebagai raja baru Mataram Islam.
Mengetahui hal tersebut maka VOC tidak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa dari Mataram Islam karena sebelum Pakubuwana II wafat ia memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada VOC.
Situasi memanas ketika VOC mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III.
Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kembali melancarkan serangan pada VOC dan Pakubuwana III.
Pada 22-23 September 1754 VOC mengadakan perundingan dengan mengudang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, kerja sama VOC dengan kesultanan.
Perundingan ini akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, maka Pangeran Mangkubumi pun mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pangeran Mangkubumi lalu mendeklarasikan sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.