Aksi ini tentu saja menimbulkan reaksi keras dari negara-negara persemakmuran Inggris yang menjadi sekutu Malaysia, seperti Australia, Inggris, Selandia Baru dan India.
Mereka menurunkan ribuan pasukan untuk membantu Malaysia melawan Indonesia.
Tidak hanya itu, Amerika Serikat (AS) juga turut campur tangan dalam konflik ini.
AS memiliki perjanjian keamanan dengan Australia dan khawatir dengan posisi Indonesia yang cenderung berkiblat ke Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet (Rusia) dan China.
Apalagi saat itu AS sedang berperang di Vietnam Selatan melawan komunis Vietnam Utara yang didukung oleh Rusia dan China.
Jika konfrontasi Indonesia-Malaysia berubah menjadi perang terbuka, maka bisa dipastikan bahwa Rusia dan China akan ikut membantu Indonesia sebagai sekutu ideologis.
Hal ini berarti bahwa Blok Timur dan Blok Barat akan saling berhadapan secara langsung di Asia Tenggara.
Perang Dingin yang selama ini hanya berlangsung secara tidak langsung bisa berubah menjadi Perang Dunia III.
Namun, untungnya hal itu tidak terjadi.
AS ternyata belum siap untuk menghadapi perang dunia ketiga dan berusaha menyelesaikan konfrontasi ini secara damai dengan melobi Bung Karno serta mengerahkan agen-agen CIA.
Di sisi lain, ada juga peran penting dari Letjen Soeharto dan Kolonel LB Moerdani yang diam-diam melancarkan operasi intelijen untuk mengakhiri konflik ini.
Pada tahun 1966, setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI yang menewaskan enam jenderal dan menyebabkan jatuhnya Bung Karno dari kekuasaan, operasi Ganyang Malaysia resmi dihentikan oleh pemerintahan baru di bawah Soeharto.
Konflik Indonesia-Malaysia pun berakhir secara damai tanpa memicu perang dunia ketiga.
Demikianlah kisah Bung Karno yang hampir membuat perang dunia ketiga dengan operasi Ganyang Malaysia.
Meskipun gagal dalam tujuannya, operasi ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan tidak takut menghadapi negara-negara besar demi membela kepentingan nasionalnya.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR