Kisah Sisingamangaraja XII, Raja Batak yang Melawan Penjajah Belanda dengan Strategi dan Senjata Tradisional

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Sisinga Mangaraja
Ilustrasi - Sisinga Mangaraja

Intisari-online.com - Sisingamangaraja XII adalah raja dan pendeta terakhir dari masyarakat Batak di Sumatera Utara.

Ia juga merupakan pejuang yang berperang melawan penjajahan Belanda selama hampir 30 tahun.

Lalu, dia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1962 karena jasanya dalam mempertahankan tanah air.

Sisingamangaraja XII lahir dengan nama Patuan Bosar Sinambela pada tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli.

Ia adalah keturunan dari dinasti Singa Mangaraja, yang berarti Raja Singa Agung.

Dinasti ini berasal dari salah satu pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung, kerajaan Minangkabau yang sangat berkuasa pada masa itu.

Ia naik tahta sebagai Sisingamangaraja XII pada tahun 1876, menggantikan ayahnya, Sisingamangaraja XI, yang meninggal dunia.

Sebagai raja dan pendeta, ia memiliki peran ganda sebagai pemimpin politik dan agama bagi masyarakat Batak.

Ia dihormati sebagai titisan Batara Guru, dewa tertinggi dalam kepercayaan Batak.

Kemudian dia juga diyakini memiliki kekuatan gaib, seperti mengusir roh jahat, mengeluarkan hujan, dan mengendalikan penanaman padi.

Saat Belanda mulai menancapkan pengaruhnya di Sumatera Utara sejak tahun 1850-an, Sisingamangaraja XII bersama ayahnya mulai melakukan perlawanan.

Mereka menolak untuk tunduk kepada pemerintahan kolonial Belanda dan berusaha mempertahankan kemerdekaan dan kebudayaan Batak.

Baca Juga: Menguak Misteri Kesaktian Raja-Raja Jawa, Apakah Benar atau Hanya Mitos?

Kemudian mereka juga menentang upaya Belanda untuk menyebarkan agama Kristen di wilayah mereka.

Perlawanan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda mencapai puncaknya pada tahun 1878, ketika ia memimpin pasukan Batak untuk menyerang pos-pos militer Belanda di Tarutung dan Sipoholon.

Serangan ini berhasil menggemparkan Belanda dan memicu perang besar-besaran antara kedua belah pihak.

Sisingamangaraja XII menggunakan strategi gerilya dalam berperang melawan Belanda.

Ia memanfaatkan keunggulan medan pegunungan dan hutan yang dikuasainya untuk melakukan serangan mendadak dan menghindari pertempuran terbuka.

Menggunakan senjata tradisional seperti tombak, parang, busur, dan sumpit yang dilumuri racun.

Belanda menghadapi kesulitan besar dalam mengejar dan menangkap Sisingamangaraja XII.

Mereka harus berhadapan dengan kondisi alam yang berat, penyakit malaria, dan kurangnya dukungan dari masyarakat setempat.

Lalu mereka harus menghadapi perlawanan dari suku-suku lain di Sumatera Utara, seperti Aceh dan Mandailing.

Perlawanan Sisingamangaraja XII berlangsung hingga tahun 1907. Pada tanggal 17 Juni 1907, ia terlibat dalam pertempuran sengit dengan pasukan Belanda di Si Onom Hudon, Dairi.

Dalam pertempuran itu, ia terkena tembakan senapan Belanda dan tewas bersama dua putranya, Patuan Nagari Sinambela dan Patuan Anggi Sinambela.

Baca Juga: Kisah Ra Tanca, Abdi Dalem yang Dieksekusi Dengan Cara Sangat Tragis Usai Bunuh Raja Majapahit di Dalam Istana

Kematian Sisingamangaraja XII menjadi akhir dari perlawanan Batak terhadap Belanda.

Jenazahnya dimakamkan di Tarutung, Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige, Toba pada tahun 1953.

Ia dikenang sebagai salah satu pahlawan nasional yang berani dan gigih dalam melawan penjajah.

Artikel Terkait