Intisari-online.com -Gajah Mada adalah mahapatih Majapahit yang terkenal dengan sumpahnya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.
Sumpah ini dikenal sebagai Sumpah Palapa, yang berarti ia tidak akan menikmati palapa (jenis rempah-rempah) sebelum berhasil mengalahkan semua kerajaan di Nusantara.
Sumpah ini diucapkan pada tahun 1336 M saat ia dilantik sebagai patih oleh Raja Hayam Wuruk.
Dalam melaksanakan sumpahnya, Gajah Mada berhasil memperluas wilayah Majapahit hingga mencakup sebagian besar pulau-pulau di Indonesia saat ini.
Ia juga mendapat dukungan dari beberapa tokoh penting seperti Adityawarman dan Laksamana Nala.
Namun, sumpahnya tidak terwujud sepenuhnya karena ia mengalami kegagalan tragis dalam peristiwa Perang Bubat pada tahun 1357 M.
Perang Bubat adalah peristiwa pembantaian rombongan pengantin kerajaan Sunda yang datang ke Majapahit untuk menikahkan putri mereka, Dyah Pitaloka Citraresmi, dengan Raja Hayam Wuruk.
Gajah Mada menganggap kedatangan mereka sebagai tanda pengakuan kekuasaan Majapahit dan menyerang mereka tanpa ampun.
Akibatnya, Raja Sunda dan putrinya tewas bersama-sama dengan pengawal mereka.
Perang Bubat menyebabkan kemarahan dan kesedihan di kedua belah pihak.
Raja Hayam Wuruk sangat murka kepada Gajah Mada karena telah merusak rencana pernikahan yang seharusnya menjadi simbol persatuan Nusantara.
Ia juga merasa bersalah karena telah menyakiti hati Dyah Pitaloka, yang ternyata ia cintai sejak lama.
Gajah Mada sendiri merasa menyesal karena telah melanggar sumpahnya dan menyebabkan kematian banyak orang.
Perang Bubat menjadi titik balik dalam sejarah Majapahit. Gajah Mada dicopot dari jabatannya dan hidup dalam pengasingan hingga akhir hayatnya.
Raja Hayam Wuruk tidak pernah menikah lagi dan tidak memiliki keturunan. Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran setelah kematian mereka berdua.
Kisah tragis Gajah Mada ini menjadi salah satu contoh dari ironi sejarah, di mana cita-cita mulia harus berakhir dengan penderitaan dan kehancuran.
Perang Bubat terjadi karena adanya kesalahpahaman atau pengkhianatan antara Gajah Mada dan Linggabuana.
Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda ke Majapahit adalah tanda penghormatan dan pengakuan atas kekuasaan Majapahit.
Ia berencana untuk menyerahkan putri Sunda sebagai selir Hayam Wuruk, bukan sebagai permaisuri.
Hal ini bertentangan dengan maksud Linggabuana yang mengharapkan pernikahan setara antara putrinya dan Hayam Wuruk.
Ketika rombongan Sunda tiba di alun-alun Bubat, Gajah Mada menyambut mereka dengan sikap arogan dan sombong.
Ia memerintahkan mereka untuk turun dari kuda dan membawa hadiah-hadiah ke hadapan Hayam Wuruk.
Baca Juga: Fakta Unik, Rombongan Kereta Hayam Wuruk Saat Turba Jawa Ternyata Menggunakan Nama Tumbuhan
Linggabuana merasa tersinggung dan menolak untuk tunduk kepada Gajah Mada.
Ia mengklaim bahwa ia datang sebagai tamu kehormatan, bukan sebagai bawahan. Ia juga menegaskan bahwa putrinya adalah calon permaisuri, bukan selir.
Perdebatan antara Gajah Mada dan Linggabuana semakin memanas hingga akhirnya berujung pada pertempuran.
Gajah Mada memerintahkan pasukan Majapahit untuk menyerang rombongan Sunda tanpa ampun.
Linggabuana bersama putrinya, Dyah Pitaloka, dan pengawalnya berusaha melawan dengan gagah berani.
Namun, mereka kalah jumlah dan kalah persenjataan. Hampir semua anggota rombongan Sunda gugur dalam pertempuran tersebut, termasuk Linggabuana dan Dyah Pitaloka yang bunuh diri.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai